Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Mbah Mitro:
Lantunan Doa dalam Kayuhan Sepeda


“Terima    kasih Tuhan karena  semalam aku  Kau jaga dan senantiasa Kau  beri  keselamatan, sehingga pagi ini aku masih bisa melihat terang-Mu  lagi. Sekarang aku hendak  bekerja, maka  kupasrahkan seluruh diriku dalam kehendak-Mu.”  
Selarik  doa itulah yang selalu diucapkannya begitu bangun pagi. Kemudian dia  mempersiapkan  dagangan di atas sepeda.  Pukul 05.30 dia akan  mengayuh sepeda itu  ke  pasar Stan, Depok, Maguwo, Sleman. Sepanjang perjalanan sekitar 5 km dari rumahnya  di Demangan menuju pasar,  doa  Bapa Kami  dan Salam  Maria  akan berkali-kali  didaraskannya.  Dalam balutan remang  pagi, atau siraman halus gerimis,   atau bahkan  guyuran hujan,  dia tetap berdoa sambil mengayuh sepeda.  Kemudian  sekitar pukul 06.00 sesaat sebelum tiba di  pasar,  rangkaian doa  itu  ditutupnya  dengan  berdoa  Malaikat Tuhan.
Bagi Mbah Mitro, demikian dia dipanggil,  sosok Yesus dan Bunda Maria hanyalah sejauh doa.  Pada Bunda Maria  dia   menyampaikan  keluh kesahnya.    Terkadang dia sampai  menangis jika beban hidup berat menghimpit.  Sosok  Bunda  itulah yang dirasakannya sering  hadir dalam untaian doa rosarionya. Kehadiran Sang Bunda membuatnya kembali tenang, lapang.

 Itu sebabnya, dia selalu ikut saat umat  lingkungannya pergi ziarah, bahkan sampai ke Pohsarang, Kediri.  Rupiah demi rupiah yang diperolehnya setiap hari  dia sisihkan,  agar bisa ikut ziarah. Di ingin mengadu  kepada  Bunda Maria.
Hal  serupa dirasakannya jika mengikuti adorasi setelah misa  Jumat Pertama.  Dia  merasa begitu dekat pada Yesus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus, terlebih ketika  sakramen tersebut diangkat tinggi-tinggi  di dalam  monstran.

Jantung Dhap-dhapan  
Nama lengkapnya Valentina Tumirah Mitrosuwarno. Dia  belajar berdoa pada Rm.  Reijnders,  SJ, yang secara berkala datang mengunjungi  umat Katolik Babadan.  Gereja Babadan belum berdiri saat itu.  Misa masih diadakan di salah satu ruang kelas SD Kanisius Babadan, tempatnya belajar hingga kelas VI SR (SD sekarang).
Dia sangat suka melihat gambar-gambar suci yang dipasang di  papan  tulis. Masih terbayang bagaimana dulu dia harus berjalan  pukul  19.00 menenteng lampu petromax untuk ‘wulangan’,  belajar agama  pada Pak Karto dan Pak  Siswosudarmo di SD K Babadan. 
Dia dibaptis oleh Rm. Houven,  SJ,  tahun 1963.  Menurut pengakuannya,  saat itu keluarganya tidak menjadi penganut suatu agama. Kemudian pada Oktober 1965  dia menikah.  Setelah putra-putrinya  lahir, pada tahun 1974 ke-13  orang  keluarga besarnya memutuskan menjadi  Katolik.
Perempuan yang lahir tahun  1949 ini memiliki 5 anak  dan 9 cucu.  Semua anaknya sudah berkeluarga.  Dua  anaknya tinggal  berdekatan dengannya.  Dia dengan tekun mendidik dan mengarahkan anak-cucunya agar tetap utuh sebagai keluarga Katolik yang taat.  Dia mengatakan, taat sebagai Katolik adalah keutamaan. Dia berkisah,  sebelum menikah, dia pernah dijodohkan dengan seorang pemuda yang tampan dan lebih berada.  Dia menolak karena diminta pindah agama.
Suaminya berpulang  tahun 2003, setelah lima tahun sakit stroke.   Dalam  kurun waktu itulah,  selama merawat suaminya, dia  merasa jantungnya ‘dhap-dhapan terus, (berdetak lebih  keras).   Tapi dia merasa terus dikuatkan oleh Yang Memberi Hidup. 
Karena selalu dikuatkan oleh-Nya,  dia tidak lagi merasa  jantungnya berdetak keras-keras ketika belakangan ini salah seorang anaknya menderita depresi.  Dengan penuh kasih dia ikut membantu  kehidupan keluarga anaknya tersebut.  Dia terus mengupayakan  kesembuhan bagi putranya selama setahun  ini. Dia pernah membawa anaknya kepada  seseorang yang dikatakan bisa menyembuhkan di   Kulon Progo. Pernah pula dia mempercayakan anaknya dirawat di RS Ghrasia Pakem selama 28 hari. 
Sampai  kini  anaknya memang belum sembuh.  Namun   dia tetap  bersyukur.   Tuhan amat menyayanginya, selalu  memberinya kesehatan, sehingga tetap  bisa bekerja menghidupi diri  dan keluarga anaknya.

Cuma-cuma
Setiap  hari dia setia melakoni pekerjaannya sebagai petani dan pedagang.  Sepulang dari  pasar dia  sejenak melepas penat.  Tak lama kemudian, dia  bergegas ke sawah merawat padi atau palawija, yang ditanamnya di dua petak sawah, masing-masing  seluas 1000 meter persegi,  tak jauh  rumahnya.   Hanya satu petak yang memberi hasil lumayan. Satu petak lagi kurang baik hasilnya, sebab kurang air. 
Menjelang malam, dia akan mencuci  sayuran atau palawija agar bersih untuk dijual pagi hari.  Bila tidak ada yang bisa dipanen dari sawahnya, sayuran dan palawija itu dia beli dari petani sekitar. Kalau semua  sudah selesai dia kerjakan,   dia  akan berdoa menyerahkan seluruh  hidupnya  dan  anak  cucunya sebelum  istirahat malam.
Ia mengerjakan  semuanya sendiri.  Hanya jika tenaganya sudah tak  mampu lagi  dia baru minta tolong orang lain membantunya. Dia juga tak  mau tergantung pada  anak-anaknya. 
Sepeda  onthel  menjadi teman setia saat berjualan ke pasar. Sambil tersenyum malu-malu, dia  mengaku dari hasil berjualan memperoleh rezeki  rata-rata sekitar 25 ribu. Itu  jika dagangannya terjual semua. Tak  selalu  mujur. Kadang dagangannya tak  laku. Lain saat memang  dibeli orang, tapi  hanya dibayar dengan  janji,  esok  akan dilunasi.  Dia tidak pernah marah.  
Sering  juga dia  memberikan  dagangannya cuma-cuma kepada orang lain yang ingin membeli, tapi  tak  punya uang.  Lain kali,    dagangannya ditukarkan dengan barang yang dibutuhkan. 

Helai rupiah untuk Gereja
Mbah Mitro  lebih memilih ikut misa Sabtu sore dan Jumat Pertama. Hari Minggu sering dipakainya untuk berjualan di  pasar.  
Saat Prapaskah dan masa Adven, dia selalu mengaku dosa.   Saat itu Ibadat Tobat  yang dilanjutkan Sakramen Rekonsiliasi,  selalu diselenggarakan sore hari di  lingkungannya.  Romo paroki sudah berkoordinasi dengan beberapa romo paroki  Rayon Sleman  agar memberi Sakramen Rekonsiliasi di  beberapa lingkungan, selain  di ke gereja.  Para lansia tidak perlu jauh-jauh mengaku dosa ke gereja.
Semua  kegiatan lingkungan rajin  diikutinya, mulai dari arisan, doa tiap Selasa Kliwon dan Jumat Pertama.  Di lingkungannya, St.  Stefanus Martir,  berdoa bersama setiap Selasa Kliwon dan Jumat Pertama sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun.  Begitu pula doa Rosario setiap malam pada bulan Mei dan Oktober, yang digilir dari rumah ke rumah. 
Dia tidak pernah mau ketinggalan menyokong kegiatan lingkungan,   seperti iuran lingkungan, pangruktilaya, dan sebagainya.  Setiap   bulan dia sisihkan Rp  100 ribu  lebih untuk keperluan  tersebut.  Jika  diedarkan kotak  dan amplop APP dia akan mengambilnya tiga.  Satu untuknya, dua  bagi  kedua anaknya.  Ketiga amplop dan kotak itu dia isi sendiri kalau anaknya lupa  mengisi.
Untuk Gereja demikian pula. Dia bercerita,  tahun 1990-an, ketika setiap keluarga diminta menyumbang Rp 200 ribu, dia bersedia tanpa berpikir panjang, walau harus mencicil. Sekarang juga begitu.  Dia  langsung menyatakan kesanggupan  memberi  Rp 400 ribu untuk pembangunan  Panti  Paroki.   Kalau bisa menyisihkan Rp 50 ribu, jumlah sebesar itu yang dia setorkan.   Demikian  pula jika jumlahnya lebih kecil.  Dia tidak menentukan kapan harus selesai  mencicil kesanggupan tersebut. Bahkan dia mengatakan jumlah  itu  akan ditambahnya  jika  memperoleh rezeki  lagi.
Semua  itu didorong oleh kehendak ingin mempunyai Gereja  yang lengkap  dengan  sarana pelayanan. Menyisihkan sebagian rejeki yang diperolehnya untuk keperluan  Gereja, lebih diutamakannya daripada memuaskan  keinginan untuk  membeli keperluan  pribadi.  Dengan cara itulah dia menyatakan ungkapan syukur  atas kehidupan yang diperoleh dari-Nya.(PRondangP/M Etty Tri Poesporini)***