Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Agustian Tatogo (1):
Perjalanan Hidup itu Tidak Lurus

Perjalanan hidup itu tidak selalu lurus. Perjalanan hidup juga tidak selalu mudah. Adakala hidup menempuh jalan menanjak. Lain saat menempuh jalan menurun. Berat, namun harus dihadapi dengan tabah, berdoa, dan beryukur. 
      Bagi Agustian Tatogo, mahasiswa tahun keempat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini, perjalanan hidup yang naik turun itu persis seperti jalan yang dilaluinya dengan naik sepeda. 

Bersepeda ke ke mana-mana
    Naik sepeda memang merupakan kegemarannya. Sejak memiliki sepeda bekas yang dibelinya seharga Rp 200 ribu tahun 2012, kemana-mana dia naik sepeda.
Dengan naik sepeda, dia bisa melihat banyak hal dan bertemu dengan banyak orang. 
     Dari tempat kosnya di Paingan, di naik sepeda ke kampus. Begitu pula ketika akan bertugas menjadi lektor di Gereja St. Petrus & Paulus Babadan. Dia juga naik sepeda mencari buku ke kios buku murah di Jl. , sebelah selatan gedung BRI Yogyakarta. Tidak hanya itu. Juli 2012 dia naik sepeda dari Yogyakarta ke Salatiga, pulang pergi. Agustus 2012, dia naik sepeda ke Purwokerto. Dari Purwokerto perjalanan dia lanjutkan ke Cilacap. Dari Cilacap kembali ke Yogyakarta, juga naik sepeda. Awal November 2012, dia naik sepeda lagi ke Semarang. Pertengahan November 2012, dia naik sepeda lagi ke Wonogiri. Terakhir, akhir Desember 2013 dia naik sepeda ke Malang. Dari Malang perjalanan dilanjutkan ke Surabaya, lalu kembali ke Yogyakarta awal Januari 2014. 
      Dia tidak pernah takut atau khawatir. Saat naik sepeda menempuh perjalanan dari kota ke kota, siang atau malam, di panggang terik matahari atau diguyur hujan, dia selalu berdoa. Dia memohon agar selama perjalanan selalu didampingi oleh-Nya, diberi kekuatan dan kesehatan, dan dijauhkan dari marabahaya. 

Ajaran Ibu 
     Adalah ibunya, Maria Mobe (64) yang mengajarkan kepada Agus, agar selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Waktu kecil, ketika masih tinggal di Epoutu, Papua Tengah, ibunya mengajari Agus, bersama tiga saudara perempuannya, untuk berdoa. 
    Ibunya juga mengajarkan, ada dua kehidupan bagi setiap orang, kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Setelah kehidupan di dunia, akhirnya orang akan memasuki kehidupan di akhirat, entah ke surga atau ke neraka. 
    Agus menuturkan, ibunya mengatakan, setiap orang hendaknya menjadikan kehidupan di surga menjadi tujuan, sebab di neraka orang hanya akan mendapat siksaan. Karena itu, ibunya menegaskan, anak-anaknya hendaknya selalu mengamalkan ajaran cinta-kasih selama menjalani kehidupan di dunia ini, selalu mau membantu orang. Tapi ibunya mengingatkan, ajaran cintah kasih harus terbukti melalui tindakan nyata. Untuk itu, perlu selalu bertanya kepada diri sendiri: Apa perbuatan kongkrit yang bisa menunjukkan bahwa dirnya mengasihi orang lain? Apa perbuatan kongkrit yang bisa menunjukkan bahwa dirinya mau membantu orang lain? 
    Arahan ibunya itu membekas di sanubari Agus. Oleh sebab itu, ia selalu berdoa dan mencoba senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu cara yang dia tempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah dengan aktif dalam kehidupan menggereja. Sejak duduk di SMP yang dikelola Konggresi SJ di Tigi — tahun 2002 keluarganya pindah dari Epoutu ke Tigi yang berjarak sekitar 20 kilometer.— adalah menjadi misdinar. 

Kegiatan Rohani 
      Aktif dalam kehidupan menggereja terus dilanjutkannya setelah kuliah di Sanata Dharma. Usai masa orientasi, dia menjadi anggota Kompai (Komunitas Paingan) yaitu perkumpulan mahasiswa Universitas Sanata Dharma Kampus Paingan. Pilihan itu dia putuskan setelah mengetahui bahwa perkumpulan tersebut mempunyai divisi kegiatan rohani, antara lain mempersiapkan penyelengaraan perayaan misa harian dan misa mingguan di Kampus. 
       Begitu bergabung dengan Kompai, dia lalu ikut menggelar tikar sebelum perayaan misa dimulai, baik untuk misa harian maupun misa mingguan. Siapa saja yang mengikuti perayaan misa memang duduk di atas tikar yang di gelar di lobi gedung utama. Dia juga ikut mempersiapkan altar, menjadi putra altar, dan menjadi lektor. Semua kegiatan itu dia jalani selama dua tahun pertama masa kuliahnya, asalkan tidak berbenturan dengan jam kuliah. 
      Benturan dengan jam kuliah memang menjadi kendala, terlebih setelah perayaan misa harian yang sebelumnya diselenggarakan pagi hari, diubah menjadi pukul 12.00. Tapi bukan hanya dirinya yang menghadapi kendala tersebut. Sambil tertawa dia menceritakan, saat perayaan misa harian siang hari, pernah yang hadir hanya dia dan romo yang mempersembahkan misa.

Pagi Setengah  lima 
       Saat bertugas menjadi lektor untuk perayaan misa harian di Gereja Babadan, dia sudah tiba pukul 04.30, sejam sebelum perayaan misa dimulai. Belum ada orang yang datang. Sendirian dia duduk di bangku  gereja, berdoa di tengah keheningan pagi. Dia ingin dirinya sungguh siap manyambut kehadiran-Nya saat perayaan misa. 
       Memang  belakangan, setelah berkenalan dengan beberapa umat Lingkungan St. Maria Gereja St. Petrus & Paulus Babadan yang merupakan penduduk sekitar kampus, Agus mulai mengikuti pertemuan lingkungan, termasuk menjadi anggota koor lingkungan. 
       Sejak itulah kemudian dia mulai terlibat dalam kehidupan menggereja di Gereja St. Petrus & Paulus Babadan. Selain mengikuti berbagai kegiatan OMK, dia juga menjadi lektor. Dia selalu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas pelayanannya, baik saat perayaan misa di kampus maupun di Gereja Babadan. 
     Semua kegiatan itu dilakukannya dengan sukacita, sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah yang dia terima dari-Nya. Dia mengatakan, tanpa karunia dari-Nya, barangkali dia akan tetap tinggal di Tigi, seperti teman sebaya di sana. Mungkin dia telah bekerja, atau sudah berkeluarga.(PRonP – bersambung)***