Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Rm Yosafat Dhani Puspantoro Pr (2-Habis):
Seperti sudah disiapkan Tuhan

“Seperti sudah disiapkan Tuhan, perjalanan panggilan hidup saya lancar-lancar saja. Kadang saya deg-degan apakah tantangan itu belum datang?” demikian ungkap Romo Dhani pelan, merenungkan kembali perjalanan hidupnya. 
    Lahir dari pasangan Philipus Suparlan dan Laurensia Sujiyem, imam praja yang ditahbiskan 29 Juni 2012 ini menjalani masa sekolah dasar di Jumapolo, kemudian sekolah di SMP Kanisius Ganjuran dan dilanjutkan ke seminari hingga studi lanjut filsafat teologi. Semua dijalani tanpa hambatan.
    Setelah tahbisan Imamat sambil studi lanjut Licensiat, dia mendapat penugasan di paroki Babadan, sekaligus menemani Mgr. V Kartosiswoyo, Pr. tinggal di Wisma Petrus Kentungan. Baginya saat itu serasa berpijak di 2 kaki karena sejujurnya dia ingin langsung terjun di tengah umat.

Kesasar
     Mengabaikan keinginannya itu, dilakoninya penugasan itu dengan senang hati. Bahkan sangat bersemanat, sehingga meski sudah berkali-kali ke SDK Babadan, karena tak tahu di mana Gereja Babadan, dia sampai kesasar. Padahal jarak antara SDK Kanisius Babadan dan Gereja Babadan hanya sekitar sekilometer. Itu terjadi ketika pertama kali hendak misa di Gereja Babadan, dia kesasar ke jalan menuju Cangkringan.  
     Dua tahun pelayanannya di Babadan dan Cangkringan menumbuhkan perasaan sudah mulai kerasan berada di tengah umat. Perjumpaan dengan umat di Sabtu minggu I dan III meski hanya sesaat di waktu misa dan dilanjutkan perbincangan ringan usai misa, dirasakannya berkesan dan mendukung panggilannya. 
     Romo Dhani juga kerap menyapa kaum muda, putra altar, atau orang sekitar gereja yang bertugas parkir. Atau sosok Fransisca Indriyani, seorang ibu muda yang sakit kanker dan akhirnya berpulang meninggalkan 2 anak balita. Ibu muda ini sempat minta didoakan usai misa, dan ketika dalam kondisi kritis di RS Panti Rapih Romo Dhanilah yang memberinya Sakramen Minyak Suci, hingga akhirnya Romo Dhani melepas kepergiannya ke Rumah Bapa dalam misa requiem di lingkungan Stephanus Martir Demangan.

Diterima sukacita
     Perjumpaan-perjumpaan dengan umat seperti di atas, atau yang berulang tak disengaja, tak direncanakan seperti itulah yang antara lain meneguhkan perjalanan imamatnya. Inilah perjalanan yang harus dijalaninya bersama umat. Apalagi dia merasa cocok dan diterima dengan suka cita oleh Rm R Triwidodo, Pr sebagai rekan kerja. 
    Dia sungguh menemukan suasana ‘diterima dengan suka cita’ oleh Romo Tri lewat hal-hal sederhana, seperti berbincang sebelum atau sesudah misa atau di saat makan malam bersama Romo Tri usai misa. Menurutnya Romo Tri sangat baik dan dengan ramah akan menawarkan apa saja yang terhidang di meja makan, “Ini temulawak untuk menjaga stamina, silakan diminum, Romo. Silakan dicoba, ini ikan goreng enak dari Danau Singkarak. Ini spagheti instan juga enak.” 
    Sebagai rekan kerja dia juga merasakan bahwa romo paroki butuh teman bicara untuk sharing, memberi pertimbangan pada suatu persoalan, atau sekadar bicara yang ringan-ringan. Karena itu dirasakannya tak mudah menggembalakan 2000 umat hanya sendirian seperti yang dilakoni Romo Tri sekarang. Tercetus kekagumannya pada sosok Romo Tri yang bisa menumbuhkan suasana cair dalam relasinya di tengah umat, “Dia sungguh luar biasa!” 
      Meski kadang terasa berat, setiap pengalaman dijadikannya tantangan untuk melayani umat sebaik-baiknya. Seperti ketika hendak melayani misa di Cangkringan dia berangkat dalam kondisi hujan. Semakin ke atas semakin deras.  Tetapi dia terharu karena umat tetap setia menunggu kedatangannya. 
    Pengalaman unik ditemuinya saat misa Jumat Pertama kali pertama diadakan. Tak disangkanya Gereja Cangkringan penuh sehingga menumbuhkan harapan bahwa pada misa bulan berikutnya gereja akan penuh juga. Rupanya tak selalu harapan itu terwujud, dan ia belajar menerimanya ketika dilihatnya pada misa Jumat Pertama selanjutnya jumlah umat hanya memenuhi separuh gereja. Hal yang menurutnnya unik, setelah misa umat tidak pulang, tapi menunggu giliran beradorasi di gereja. 
      Selama pelayanan di Paroki Babadan,  dia juga beberapa kali diminta melayani misa memule, pemberkatan rumah atau tempat usaha. Umat yang datang selalu banyak dan hal ini dirasakannya bahwa kehadiran, sapaan, dan dukungan seorang imam dalam setiap kejadian yang dialami umat memang sangat dirindukan. 
     Dilihatnya juga geliat umat Babadan yang begitu bersemangat dalam berbagai kegiatan, menurutnya itu adalah modal yang bisa digerakkan untuk membangun hidup beriman. Jumlah umat yang semakin banyak juga menumbuhkan harapan dalam rasan-rasan dengan Romo Tri bahwa suatu ketika akan ada penambahan misa di Minggu sore. 
     Namun, kadang harapan seperti itu juga muncul bersama keraguan. Apakah penambahan waktu misa, semisal dari dua menjadi tiga kali, sungguh mendesak? Keraguan itu muncul tatkala ada umat yang tanya saat pengakuan dosa di lingkungan, Rm. Dhani dari Paroki mana. Bagi Rm. Dhani, pertanyaan itu bisa diartikan bahwa umat tersebut jarang ke gereja Babadan, karena Rm. Dhani 2 kali sebulan mempersembahkan misa di Babadan.
     Bagaimana pun, seperti diutarakan sebelumnya, pengalaman selama pelayanan di Babadan dan Cangkringan sungguh meneguhkan perjalanan imamatnya. Pengalaman yang meneguhkan itu sedikit banyak menjadi bekal memulai pelayanan di Paroki Administratif Pringgolayan,  yang masih berinduk ke Paroki Bintaran.*** (PronP/MEtriP)