Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Rekoleksi Prodiakon: Dipilih Melayani

Tempatnya sudah tepat, di Aula Gereja St. Fransiskus Xaverius Cangkringan, di lereng Merapi. Jauh dari keramaian kota.  Waktunya juga telah pas. Bukankah saat 1 Suro, banyak orang Jawa melakukan tapa bisu?
    Apalagi acaranya disebut rekoleksi, yaitu khalwat pendek beberapa jam. Khalwat berarti pengasingan diri di tempat hening untuk berdoa, menenangkan diri, meneliti hidup untuk disyukuri dan diperbarui.
   Anehnya, rekoleksi prodiakon Paroki St. Petrus & Paulus Babadan justru dominan diisi cermah. Maka doa dan refleksi diandaikan otomatis terlaksana dalam batin para prodiakon peserta rekoleksi, ketika ceramah berlangsung. Dengan gurauan itu, Rm. Paulus Supriya, Pr, dari Paroki Pugeran,  mengawali ceramah bertajuk: Dipilih untuk Melayani, yang disampaik pada rekoleksi tersebut, Sabtu (25 Oktober 2014).
    Selanjutnya Rm. Supriya mengatakan melalui rekoleksi ini hendaknya para prodiakon bisa semakin bening, hening, dan wening. Semua itu diperlukan karena prodiakon sebagai orang yang dipilih untuk melayani, sesungguhnya memiliki dua keutamaan yang sungguh unggul. Orang dipilih karena mau mempunyai hati atau komitmen untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dalam realitas sedang menghadapi ancaman yang serius. Orang yang memiliki komitmen biasanya antusias, bersedia berdaya upaya mengembangkan tanggung jawabnya.
     Dua keutamaan unggulan tersebut diharapkan bisa mendorong prodiakon untuk lebih menghayati dan mencintai perannya melayani. Tidak setiap umat dibolehkan ikut berperan dalam tugas pelayanan semacam itu.
    Menurut Rm. Supriya, ada empat dimensi spirit yang perlu diperhatikan agar komitmen tersebut tetap berkobar dan berbuah. Pertama, dimensi kerohanian. Kedua, dimensi kepribadian. Ketiga, dimensi intelektual. Keempat, dimensi pelayanan. Dimensi kerohanian menyangkut daya dan gaya (motor) kehidupan prodiakon. Seorang prodiakon haruslah beriman mendalam, memiliki kemerdekaan batin atau lepas bebas, melaksanakan karya Tuhan, mencintai karya, mencintai setiap pribadi, dan berbuah (tidak sama dengan berhasil). Dimensi kepribadian meliput sikap yang menempatkan diri tetap sebagai awam dan anggota keluarga, selalu memiliki harapan (bukan optimis), memiliki kasih, dan cerdas secara emosional. Dimensi intelektual terkait dengan sikap dasar, mendengarkan, merenungkan, mengolah, mewartakan, dan melaksanakan sabda Allah, Dimensi pelayanan mencakup keteladanan, tanggap terhadap kebutuhan umat, mencintai panggilan, praktik pelayanan yang benar, dan hal praktis lainnya.
    Setelah paparan Rm. Suriya selesai, acara dilanjutkan diskusi. Topik yang banyak dibahas adalah tentang sikap dan praktek, serta komitmen terhadap pelayanan.
    Sikap dan praktik prodiakon banyak mendapat perhatian, karena sering muncul menjadi ganjalan. Hal ini memang sudah sering dibicarakan di antara sesama prodiakon. Namun penjelasan yang diperoleh kurang meyakinkan, padahal telah banyak perubahan terjadi dalam dunia prodiakon, sehingga sering kurang didengarkan. Terkait komitmen terhadap pelayanan, muncul dalam diskusi bahwa bukan rahasia ada prodiakon yang merasa bahwa hatinya belum sepenuhnya siap menjadi prodiakon. Masih terkendala oleh berbagai hal seperti pekerjaan dan lain-lain, namun tidak bisa mengelak sebab sudah dipilih. Disadari, masing-masing prodiakon berbeda dalam menanggapi panggilan untuk melayani. Meski demikian, disadari bahwa setiap mereka hendaklah tetaplah teguh, mengalir begitu saja sesuai tuntuan-Nya, dengan tetap menjaga kepantasan sebagai panutan.
    Prodiakon mengikuti rekoleksi ini dengan antusiasme tinggi. Dari 36 prodiakon paroki, hanya satu prodiakon yang berhalangan hadir. Rekoleksi dirasakan sebagai refleksi diri, memantapkan diri menjadi prodiakon, sekaligus mendorong untuk hidup lebih baik. Selain itu, ada yang menyatakan rekoleksi ini sungguh bermanfaat, meneguhkan iman, menambah pengetahuan, tambah percaya diri, meningkatkan semangat untuk lebih melayani. Yang lain menyebutkan, bekerja di ladang Tuhan itu tidak harus menunggu jadi orang baik dulu. Begitu dipilih dan setuju, Tuhan sendirilah yang bekerja.
    "Menjadi pelayan adalah kesempatan yang diperoleh karena rahmat Tuhan. Tuhan sendirilah yang berkenan memilih saya untuk menjadi pelayan, walau secara sadar sesungguhnya saya tidak mampu dan tidak pantas. Bila Tuhan sudah berkenan, tidak ada alasan  menolak undangan-Nya untuk terlibat dalam karya penyelematan-Nya. Tugas saya adalah berusaha menjadi pelayan yang setia dan bertanggungjawab demi kemuliaan nama-Nya,"  demikian dikemukakan salah satu prodiakon.
      Terkait antusiasme yang tinggi prodiakon mengikuti rekoleksi ini, seorang prodiakon mengatakan hal itu mungkin disebabkan kesempatan memperoleh "pencerahan dan penyegaran" semacam ini jarang diperoleh. Selain itu, ada kecenderungan lebih suka di"ceramahi" oleh narasumber yang dianggap berkompeten,   daripada membahasnynnya dengan sesama prodiakon yang belum tentu menjelaskan masalah walau yang bersangkutan lebih punya "jam terbang" lebih tinggi. Faktor lain, minat belajar sendiri.   semisal membaca buku,  belum menjadi kebiasaan. Maka, lebih sering menyelenggarakan rekoleksi semacam ini dipandang sangat perlu, Rekoleksi ini seyogyanya dilaksanakan tahun lalu, baru bisa dilaksanakan sekarang.
        Rekoleksi dimulai pkl. 08.30, diawali minum pagi, doa, dan sambutan oleh Rm. Robertus Triwidodo,, Pr selaku pastur paroki. Dalam sambutannya, Rm. Robertus Triwidodo, Pr mengatakan bahwa rekoleksi ini diharapkan bisa menambah semangat prodiakon untuk melayani, sekaligus merupakan refleksi yang memicu proses untuk memurnikan diri.***