Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Bulan Pstoral Tersua Buka Bersama di Al Qodir

Dialog untuk berbagi pengalaman dalam membangun persaudaraan lintas iman yang diikuti sebanyak 32 peserta Bulan Pastoral angkatan VII, Kyai Masrur dan beberapa santri dari Pondok Pesantren Salafiah Al Qodir, serta beberapa pengurus dan anggota komunitas Gusdurian DIY, Rm. Robertus Triwidodo Pr dan sejumlah umat dari Paroki Babadan, berlangsung di Pondok Pesantren Salafiah Al Qodir Wukirsari Cangkringan Sleman Sabtu, 25 Juni 2016.

Bagi peserta Bulan Pastoral yang terdiri dari pendeta, frater dan para imam, dialog tersebut dimaksudkan sebagai kesempatan untuk berbagi pengalaman, yang diharapkan bisa memberi inspirasi untuk diterapkan dalam membangun persaudaraan lintas iman di tempat pelayanan masing-masing.
      Terkait hal itu, usai perkenalan, Santri Rendra sebagai pemandu acara menyampaikan pesan hendaknya para tamu tak berlaku seperti wartawan (maksudnya bertanya melulu - pen), tapi lebih mengedepankan sambung rasa dan hati untuk membangun cita-cita bersama mengembangkan persaudaraan yang selama ini sudah terjalin.
      Memulai dialog, Kyai Masrur Ahmad MZ sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al Qodir menyatakan bangga dengan kedatangan para peserta Bulan Pastoral dan berharap persaudaraan ini terus bisa “ditonton” oleh umat di kedua pihak. Kyai memberi sekilas gambaran kemungkinan yang sering menjadi penyebab timbulnya pergesekan antar umat beragama. Dikatakan, jika ada dua kyai dalam satu kampung, bisa terjadi umat satu kampung itu tak akur karena kedua kyai berebut pengaruh individu, bukan pengaruh ajaran agamanya, sehingga akan timbul pergesekan. Dengan contoh itu Kyai menekankan pentingnya mengendalikan nafsu untuk rebutan pengaruh. Lebih baik umat diajak berlomba berbuat kebaikan, sehingga tak ada lagi tarik-menarik keyakinan umat dengan gratifikasi karena hal itu tak ada faedahnya bagi masing-masing agama atau keyakinan.
      Dengan hal itu ia berharap umat akan beriman dengan benar dan bisa saling menegur tanpa dibarengi amarah, jika ada umat yang keliru. Jika masing-masing umat sudah beragama dengan benar, meyakini dan mengamalkannya dengan benar, maka tak akan “ngisruh-ngisruhi”. Menurut Kyai, jika sampai ada umat dengan tipikal “ngisruh”, membuat onar, maka bisa dipastikan kyai atau romonya yang salah mendidik umat. Dengan bercanda dia berkata, “Orang katolik ni gak serius, sudah disekolahkan jadi romo lama, eh ngatur umat gak bisa.”
      Dengan beberapa contoh kerusuhan yang dipicu sentimen agama seperti di Papua dan Aceh, maka Kyai berharap semoga umat bisa beribadah dengan nuansa hati dan pikiran serta tempat yang aman dan nyaman. Kyai mengajak semua pihak membangun nasionalisme dengan benar, “Insya Allah, kita bisa beribadah dengan khusyuk,. Ayo cari jalan benar, tenangkan umat.”
       Dalam sambung rasa itu seorang imam mengungkapkan di Timika, Papua tiap minggu kacau, sering terjadi keributan bukan karena masalah iman, melainkan oleh masalah lain seperti masalah politik, perang antarsuku, dan sebagainya. Ada banyak masjid, pondok pesantren, gereja katolik dan Kristen Protestan, tapi relasinya dingin, tak seperti yang disaksikannya di Jawa.
       Kemudian, imam dari Nabire mengungkapkan bahwa relasi antaragama dan pihak pemerintah dijembatani FKUB dan Dian Interfidei dengan temu antaragama dengan mengadakan doa damai dan kerjasama.
     Seorang pendeta dari Fakfak Papua memberi contoh “1 tungku 3 batu”, maksudnya agama Islam, Katolik dan Protestan menjadi 1 kesatuan. Pemerintah, adat dan gereja membangun kekuataan dari dalam untuk menangkal gesekan-gesekan yang biasanya datang dari luar. Menanggapi hal itu Kyai Masrur mengatakan bahwa kabar dari Papua mengisyaratkan supaya kita jangan pernah beradu keyakinan tapi dia mengajak agar kita semua hidup rukun dan tak mudah terprovokasi isu-isu politik dari pusat, supaya umat tak menjadi korban.
      Mas Ghozi, sekretaris Gusdurian, yang juga komisaris KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) DIY mengemukakan bahwa dialog yang dibangun oleh Gusdurian adalah dialog karya, seperti gerakan penghijauan lereng Merapi pasca erupsi. Ia melontarkan keresahan, apa yang bisa dilakukan jika yang terus diakses adalah konflik bukan kerukunan. Sekadar contoh bagus, di Kaimana Papua, setiap pendirian masjid, peletakan batu pertama dilakukan oleh pastur. Demikian sebaliknya jika mendirikan gereka maka yang meletakkan batu pertama adalah kyai. Saat ini kekhasan budaya sedang “diulik-ulik” intervensi, maka harus diblow up” hal-hal baik.
       Sementara itu, seorang pendeta yang lahir dan dibesarkan di Condet, Betawi, masih .ingat kenangan masa kecilnya ketika umat saling berkirim makanan di hari raya masing-masing agama. Hal serupa terjadi di Ciwidei, Jawa Barat. Sebagai pendeta ia malah diminta menjadi salah satu anggota panitia MTQ. Selain itu, peserta MTQ malah meminta bantuannya agar diajair melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan paduan beberapa suara. Justru di tempat lain, dia menyaksikan hal semacam itu jarang terjadi.
       Santri Rendra menanggapi supaya konflik politik yang terjadi di sekitar kita tidak berdampak pada umat sebaiknya komunikasi antarumat tetap dibangun, saling berkabar hal baik untuk dilakukan bersama. Dikemukakan lebih lanjut, forum-forum seperti ini hendaknya ada follow up-nya. Dialog semacam ini diharapkan bisa dihadirkan di tengah komunitas yang macet dialognya, memberi semangat, mengajak berbincang untuk mengurai kemacetan dialog.
      Menurutnya, rata-rata komunitas terjebak pada zona nyaman, padahal di luar banyak problem kemanusiaan pada ambang mengkhawatirkan. Dengan diskusi, “saling membaca”, saling mendukung, ia berharap tak terjadi lagi kondisi di mana mayoritas menjadi pembenar tunggal untuk memberlakukan aturan dan membuat kondisi kebangsaan kita menjadi semakin sulit.
      Kyai Masrur mengakhiri dialog dengan pengakuan betapa nikmat tinggal di negri Pancasila, Indonesia. Lebih nikmat jika dibanding tinggal di negara dengan agama tertentu sebagai dasar Negara. Ia melihat itu sebagai rahmat Allah yang luar biasa, “Arep mbengok sakkarepmu di gerejamu atau di masjidmu gak ada yang melarang. Saya juga gak risi Romo Tri gak punya istri meskipun beliau sangat mengagumi anak-anak saya,” demikian canda Kyai Masrur menutup perbincangan hangat sore itu, “Terima kasih pada para romo, pendeta, frater, moderator. Saya bangga. Paling tidak umat saya melihat, saya baik pada orang lain.”
     Acara berakhir pk 17.40 dan semua peserta dialog diajak berbuka bersama Kyai Masrur dan para santri. Dan sesudah itu, peserta Bulan Pastoral menuju Paroki Babadan, untuk melanjutkan dialog serupa dengan umat Babadan di Aula Paroki.(MTriP)***