Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Kitab Suci Diikat Tali Sepatu

Kitab Suci tanpa sampul itu sudah lusuh.  Kertasnya berwarna kecoklatan.  Ujung-ujung halamannya tergulung kecil, tidak sedikit  tepinya yang sudah koyak.
    Untuk menyatukan semua halaman yang masih ada, punggung Kitab Suci tersebut diperkuat tali sepatu biru muda yang sekaligus berfungsi sebagai penyekat halaman. Dengan cara itulah Mbah Karyo Utomo (83 thn) merawatnya. Kitab Suci itu adalah Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa. 
     Bagi Mbah Karyo,    walaupun sudah lusuh, Kitab Suci itu sangat dia sayangi dan hormati. Sewaktu kitab suci itu dia keluarkan dari tas
kain berwarna jingga, dia mengambilnya dengan sikap sangat berhati-hati dan penuh ketakziman. Dia memperlakukannya sebagai barang yang sangat suci, berharga. 

      Mbah Karyo memang gemar membaca Kitab Suci miliknya.  Itu didorong keinginannya untuk memahami apa yang diajarkan-Nya mengenai cinta-kasih. Perikop tentang Kasih sangat  berkesan baginya. “Katresnan niku damel becik tiyang sanes, mboten ngarep-arep wangsulan (Kasih itu adalah berbuat baik pada sesama tanpa harap apa-apa.),” ujarnya mantap. 

Hadiah Krisma 
     Di sela-sela kesibukannya, Mbah Karyo selalu meuangkan waktu membaca Kitab Suci Perjanjian Baru bahasa Jawa itu. Untuk membaca, harus memakai kacamata. Deretan bulu    mata kiri lekat ke kantong matanya yang terkatup. Hanya mata kanannya yang bisa melihat. 
       Dia tak ingat dari mana Kitab suci itu berasal. Menurutnya kitab itu ditemukannya di rumah. Dari Antonius Sugeng  Riyadi (41 thn), putra keempatnya, diperoleh keterangan bahwa sebenarnya kitab suci itu adalah hadiah ketika dia menerima Sakramen Penguatan di tahun 1985.  Sejak itu, sang ayah selalu membaca Kitab Suci manakala ada waktu luang.  Sering Mbah Karya tidak kelihatan.  Setelah dicari, ternyata sedang asyik membaca Kitab Suci, entah di kamarnya atau di tempat yang sepi.
      Menurut Sugeng, keteladanan hidup ayahnya ini seringkali diungkapkannya dalam sharing iman di pertemuan lingkungannya di Tangerang. Sedari kecil dia melihat ayahnya adalah sosok yang rendah hati. Ayahnya berpesan, sebagai umat Katolik seyogyanya selalu mengupayakan ketenteraman, tidak mencari musuh. 
      Ada sebuah pengalaman iman yang berkesan bagi Sugeng ketika ayahnya sakit,lalu koma beberapa hari. Meski sudah menerima Sakramen Pengurapan 2 kali, dia masih belum sadar juga. Segenap umat lingkungan berbela rasa dengan berdoa novena bagi kesembuhan ayahnya. Dalam igauannya, ayahnya terus berbicara seolah bertegur sapa dengan orang-orang yang sudah lebih dulu berpulang dan ingin mengajaknya pergi. Pada hari terakhir novena ayahnya sadar dan mengatakan tidak jadi ikut pergi. Itu semakin menguatkan kekaguman Sugeng, ayahnya adalah pengikut Yesus yang benar dan penuh keikhlasan. 
***
Dua kakinya yang  melengkung itu  gemetar seperti tak  kuat menyangga tubuh ringkihnya,  ketika tangannya  yang keriput mencoba meraih  jajanan dalam  plastik  yang tergantung di  atas kepalanya. Di  usia   senjanya,  Mbah  Karyo  masih sigap meladeni pembeli di  warung  kecilnya. Empat anak  lelaki kecil berebut masuk, memilih jajanan, mengambilnya  dan kemudian  membayar pada mbah Karyo.
     Sejak isterinya meninggal pertengahan  September 2013,  dialah yang  meneruskan usaha  itu.  Meski  kecil tapi warung itu cukup lengkap:  ada bumbu  dapur, air mineral,  aneka  jajanan, rokok,  sabun, pembalut, sembako, sampai  pembalut.  Jika   ada yang  membeli  terutama anak  kecil tapi tidak   membawa uang,  dengan tulus dia memberikan  tanpa  bayaran. 
      Bahkan jika  ada pembeli  yang  mengutang, dia tak ragu memberikan dagangannya tanpa ada  kepastian kapan  akan dibayar.  Seingatnya, ada yang  sudah berutang hingga jutaan. Setiap kali ditagih, selalu mengaku tidak punya uang.  Kalau sudah begitu, dia  mengikhlaskannya. (bersambung).