Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Angela Hariyum (2-habis):
Tuhan menopang dan Menggendongku

Setelah pensiun, ia bersama keluarganya menetap di Yogyakarta. Pertimbangannya, agar dapat lebih sering berkumpul sebagai satu keluarga. 
       Maklum, mereka bertiga tinggal di pulau yang berbeda: ia sendiri di Palembang, Sumatra. 
Suaminya ketika itu bertugas di Sulawesi Selatan, sedangkan putri semata wayangnya kuliah di Yogyakarta. Meski hingga sekarang suaminya masih bertugas di luar kota, namun kesempatan untuk berkumpul sebagai satu keluarga sudah lebih mudah, karena masih dalam satu pulau. 
     Di tempat kediaman baru, di Lingkungan St. Maria, ia menjalani kehidupan seperti yang dulu sudah biasa dilakukan. Aktif bergaul dengan orang sekitar, begitu pula dalam kegiatan umat Katolik di lingkungan, serta rajin ke gereja. Selain itu, ia juga mengikuti berbagai kegiatan kelompok kategorial, seperti Pasukris, WKRI, Devosi Kerahiman Ilahi, Paguyuban Purna Karya, dan Kelompok Emmaus Journey, dan banyak lagi. 
    Bagi orang yang melihat atau mengenalnya pertama kali, sama sekali tidak ada tanda bahwa ia mengidap tumor. Satu-satunya hal yang menimbulkan tanda tanya adalah suaranya yang terdengar sangat pelan, serak, dan lirih. Maka, seringkali jika menerima telepon ia disangka seorang bapak, simbah atau nenek. “Saya gak masalah, ‘gak kecil hati, ‘gak minta dikasihani.” Menurutnya, dibanding dulu, suaranya sekarang sudah lebih baik, lebih bisa didengar orang. 

Murah Hati
     Karena itu, ketimbang sebagai orang yang mengalami gangguan suara karena tumor, selain sebagai orang aktif dalam berbagai kegiatan kehidupan menggereja, ia lebih dikenal sebagai salah satu umat yang murah hati. Tidak pernah ia berpikir dua kali menolong orang yang membutuhkan, atau menyokong pembiayaan kegiatan yang diikutinya, atau menyumbang untuk keperluan paroki. 
     Menurut suaminya, dari pertama dikenalnya hingga sekarang, pribadi Angela Hariyum di mata suaminya tak berubah, sampai sekarang. “Dia orang yang kuat imannya. Perhatian dan rasa sosial pada sesama yang membutuhkannya tinggi.” 
     “Tuhan itu luar biasa kasih-Nya kepada saya dan keluarga. Apa yang saya minta diberi berlipat ganda,“ katanya. Dan sesuai penghayatan imannya atas ajaran Tuhan melalui doa Bapa Kami, begitu rejeki yang diperolehnya sudah melebihi kebutuhannya sehari-hari, ia wajib memberi kelebihan rejeki itu kepada yang membutuhkan. Hal yang sama diungkapkan suaminya: “Semakin banyak memberi, semakin diberi berkelimpahan oleh Tuhan.” 
     “Saya hidup tidak mencari pahala. Apa yang saya berikan, entah itu berupa materi atau perhatian pada sesama, janganlah anak saya atau orang lain tahu,” demikian dikatakannya. 

Teladan Hidup
    Sikap  mudah berbagi pada sesama yang membutuhkan didapatkannya dari ayah dan ibunya yang tinggal di Lampung. Sebagai petani transmigran swadaya dari Jawa Timur ke Lampung, ayahnya mengolah tanah yang luas dan memberi hasil padi dan singkong yang cukup banyak. Singkong diolah menjadi gaplek, sementara padi disimpan dalam bentuk gabah dan padi ikatan. Semua hasil panen itu disimpan di dalam lumbung. 
     Ketika masa paceklik dan tetangga di sekitarnya sudah tak mempunyai bahan makanan, maka lumbung akan dibuka dan tetangga dipersilakannya mengambil gaplek. Dan jika bahan makan di lumbung habis sebelum masa panen berikut tiba, maka ayahnya hanya berkata, “Biarlah kita merasakan lapar bersama-sama dengan mereka.” 
    Selain itu, sebagai anak bungsu, sejak kecil ia juga mendapat perhatian yang baik dari orangtua maupun saudaranya. Ia selalu disapa, keadaan atau kebutuhannya selalu diperhatikan. Semua itu menjadi teladan hidup baginya, yang mengajarinya untuk selalu baik dan bermurah hati terhadap setiap orang. Dan teladan hidup itulah, atau dalam bahasa suaminya, kesaksian hidup, yang dicoba ditularkannya kepada putri tunggalnya. 

Tuhan menopang dan menggendongku 
    Bukan berarti setelah di Yogyakarta serangan rasa sakit tak lagi menyerangnya. Sakit yang dirasakannya sering muncul adalah pusing hebat, telinga berdenging, mata seperti ditusuk atau ditarik-tarik serasa hendak lepas. 
  Manakala rasa sakit menderanya, ia akan mengambil rosario dan menempelkan ujung salibnya pada bagian yang dirasakan sakit. Jika rasa sakit itu menyerang ketika berada di rumah, ia akan memegang 2 rosario. Ujung salib rosario yang satu ia masukkan ke lubang telinga, satu rosario lagi ia pegang untuk berdoa. Setelah berdoa, rasa sakit itu perlahan hilang. Demikian juga sakit kepala yang datang akan berkurang jika ia letakkan salib di kepalanya yang terasa sakit. “Salib itu seolah menyedot rasa sakit saya, dan setelah itu saya merasa nyaman.” 
    Beberapa bulan menjelang perayaan Paskah 2010, telinganya berdenging, dan  ia hanya bisa mendengarkan satu suara saja. Apabila suara yang didengar berasal lebih dari satu orang, maka deraan sakit di telinga makin hebat. “Kalau di Gereja suara Romo, lektor, pemazmur masih bisa saya dengarkan dengan baik. Tapi saat koor bernyanyi, tersiksalah saya. “ 
   Mujizat seperti itu pernah dialaminya saat ibadat Jumat Agung. Rasa sakit datang tak tertahankan. Ia menguatkan diri untuk mengikuti ibadat itu sampai selesai. Setelah mencium salib Yesus, sambil menadahkan tangan ketika hendak menyambut komuni suci, ia memohon, “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh.” Dan sungguh hal itu didengarkan Tuhan. Ia tak merasakan sakit lagi setelah menyambut tubuh Kristus. 
   “Tuhan menopang dan menggendong saya,” katanya menjelaskan bagaimana ia bisa kuat menjalani semua itu. Kekuatannya semakin bertambah berkat kasih dari suami dan putrinya. 
   Suaminya selalu memberi semangat: Jangan lemah, jangan mengeluh. Jika lemah dan mengeluh, bahaya mendekat dan berkat menjauh. Jika kuat dan bersyukur, bahaya menjauh, berkat mendekat. Putrinya, yang memandangnya sebagai sumber segala yang layak diteladani, juga bersikap serupa. 
    Semua hal itu semakin menuntunnya untuk lebih berserah pada penyelenggaraan Tuhan atas hidupnya. (PRonP/MEttyP)***