Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Rm. Yosafat Dani Puspantoro Pr (1):
Saat Berjumpa, Saat Berpisah

Bagi umat yang hadir dalam Perayaan Ekaristi sore itu, tidak ada yang aneh manakala Rm Yosafat Dhani Puspantoro mulai menyanyi di mimbar.  Yang menimbulkan tanda tanya adalah mengapa hal itu dilakukan saat terakhir sebelum berkat penutup. Apakah karena bukan Rm. Dhani yang memberikan homili?
   Umat Paroki Babadan, baik di Gereja Babadan maupun di Cangkringan, memang sudah biasa menyaksikan Rm. Dhani menyanyikan sebuah lagu saat homili. Sambil memegang corong pengeras suara  Rm. Dhani akan turun dari altar, melangkah lebih dekat ke tempat duduk
umat, melagukan sebuah lagu, dan kemudian melanjutkan homili.
     Yang terjadi pada Minggu sore, 29 Juni lalu, berbeda dari yang biasanya dilakukan saat homili. Rm. Dhani tetap di dekat mimbar sambil terus menyanyikan sebait lagu, yang sebagian liriknya berbunyi:  Ada saat berjumpa, ada saat berpisah.
     Maka penuturan yang disampaikan oleh Rm. Dhani kemudian agak menimbulkan ironi. Perayaan Ekaristi sore itu, yang merupakan Hari Raya St. Petrus dan St. Paulus yang menjadi pelindung Gereja dan Paroki Babadan, yang dirayakan dengan meriah melalui persiapan sebulan,  Dan ternyata, Rm. Dhani tampil untuk menyampaikan perpisahan, karena per 1 Juli 2014, dipindah ke Paroki Bintaran.

Ingin dekat dan bersama umat
      Turun dari altar seraya menyanyikan sebuah lagu, adalah cara Rm. Dhani untuk lebih dekat,  berada di tengah dan  bersama umat.  Perjumpaan dengan umat, meski hanya sesaat, tapi dirasakannya berkesan. 
       Karena itu, imam yang lahir di Bantul 8 Juli 1986 ini selalu menyapa umat setelah misa. Romo Dhani juga kerap menyapa kaum muda, putra altar, atau orang sekitar gereja yang bertugas parkir.  Dari perjumpaan itu, misalnya, dia terkesan pada sosok Mbah Kismo yang masih rajin ke gereja meski usianya sudah lewat 100 tahun.  Begitu pula perjumpaannya dengan seorang perempuan kecil, muslim, yang ketika itu ikut orangtuanya tugas parkir.  "Dua tahun lalu, sewaktu saya jumpai pertama kali, dia masih kecil. Sekarang sudah besar," tutur Rm. Dhani.  
    Berada di tengah umat dan dekat dengan mereka, menyebabkan Rm. Dhani bisa merasakan tumbuh bersama mereka. Di satu sisi  umat membutuhkan sapaan imam, sedang di sisi lain pengalaman seperti itu sungguh dirasakannya mendukung panggilannya menjadi imam.

Ya wis, aku ya tak pindah wae…”
    Merasa berat saat akan berpisah dengan umat Paroki Babadan, bukanlah satu-satunya yang dialami hanya Rm Dhani. 
     Setelah tahbisan imamat, Rm. Dhani ditugaskan  studi lanjut Licensiat, dan karena itu tinggal Wisma Petrus Kentungan sekaligus menemani Mgr. V Kartosiswoyo, Pr.   Bagi Romo Dhani, meski tugasnya menemani dan menjaga Mgr. Karta, tapi sesungguhnya dia merasa justru Mgr. Kartalah yang ‘menjaganya’, “Di awal-awal imamat saya, Mgr. Kartalah yang menjaga saya, Ada bekal, ada kekuatan, ada ‘buah-buah’ yang diberikan pada saya. Saya belajar banyak dari Mgr. Karta.”
     Awalnya dia bingung apa yang hendak dibuatnya untuk membangkitkan semangat Mgr. Karta untuk sembuh. Beliau terlihat lelah dan butuh teman karena tak bisa melakukan apa-apa karena tangannya selalu bergetar. 
    Sejalan dengan hari-hari yang dilaluinya bersama Mgr. Karta, dia mencermati apa kebiasaan, kesukaan Mgr. Karta. Rutinitas itu dimulai dengan berdoa pagi bersama.  Pada saat itulah tumbuh kekagumannya pada Mgr. Karta yang setia mendoakan para imam praja yang telah berpulang yang makamnya berada di seberang wisma. Di kala beliau tak lagi bisa berjalan, maka doa-doa itu dilantunkan dengan menyebutkan nama para imam secara urut seperti yang tertera di foto nisan para imam hasil jepretannya. 
      Setelah itu ia akan mengajak Mgr. Karta melihat taman di belakang wisma. Taman itu kemudian dilengkapinya dengan pancuran dan kolam ikan. Pohon pepaya yang tumbuh dekat kamar Mgr. Karta, semula hendak ditebangnya, tapi dilarang karena Mgr. Karta berpendapat bahwa pohon itu memberikan manfaat. Dari situ Rm. Dhani menyadari bahwa penting melakukan sesuatu yang menumbuhkan pengharapan.  Sesuatu yang hidup, seperti halnya pohon pepaya itu yang suatu saat akan berbuah, menjadi pematik harapan. Menunggu pohon pepaya itu berbuah berarti menaruh harapan.  Tumbuhan, kolam, dan ikan yang hidup di dalamnya, juga seperti itu.  Kehidupan yang membuahkan harapan.  Rm. Dhani yakin, semua itu akan menyenangkan beliau. 
    Tak hanya itu, pekerjaan yang biasa dilakukan pramurukti, juga dilakukannya untuk membahagiakan beliau. Romo Dhani dengan suka hati akan menyuapi, bahkan mengganti pampers Mgr. Karta. 
     Kesabaran, kesetiaan menemani dan melayani Mgr. Karta pelan-pelan menumbuhkan keterikatan emosional dalam diri Mgr. Karta.  Maka, ketika tanpa sengaja Mgr. Karta tahu bahwa Romo Dhani akan pindah ke Bintaran, beliau berujar: “Ya wis, aku ya tak pindah wae…”   
     Saat berbincang-bincang untuk mengumpulkan bahan menyusun tulisan ini di Wisma Petrus, Seminari Kentungan (Kamis, 12 Juni 2014) Rm. Dhani menyatakan sungguh tak mudah dan terasa berat meninggalkan Mgr. Karta meski sesekali dia masih bisa menjenguknya karena masih tinggal di kota yang sama. Ternyata, Senin (16 Juni 2014) persis 14 hari sebelum Rm. Dani pindah ke Bintaran, Mgr. Karta sungguh-sungguh pindah, namun pindah ke rumah Bapa di surga.(Bersambung)***