Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Agar volume/kualitas suara saat Misa Harian sama seperti Minggu

Agaknya suara lektor atau suara Romo saat Misa Harian terdengar tidak sekuat saat Misa Minggu.  Itu sebabnya  seorang responden  mengharapkan  agar volume/kualitas sound sama antara Misa Harian dan Misa Minggu.
      Harapan tersebut dituliskan ditepi lembar  survei bertopik kinerja  lektor, yang diselenggarakan Sabtu (22 Juni 2013) dan Minggu (23 Juni 2013).  Jadi,  kalau  ikut Misa  Harian, boleh  jadi umat  tidak   mendengar suara lektor membacakan Sabda Tuhan. Suara Romo saat
membaca Injil dan berhomili juga tidak terdengar. Barangkali tidak  tahu  hendak melapor ke siapa,  atau tidak  enak  hati mengusulkan hal itu.  Dan  paling aman adalah menulis di lembar survei, sebab tak perlu mencantumkan identitas.
      Tapi itu sisi lain dari survei yang dilaksanakan.   Hasil survei itu sendiri bagaimana?
      Survei  dimaksudkan utnuk mengetahui persepsi umat  mengenai kinerja lektor saat membacakan Sabda Tuhan.  Sebab, saat lektor membacakan Sabda Tuhan, lektor sebenarnya  menyampaikan sapaan Allah kepada umat, sedang umat hadir sebagai Gereja yang sedang mendengarkan Sabda Tuhan.
      Ada dua pertanyaan yang diajukan kepada umat.  Pertama:  Menurut Anda, apakah  semua lektor mampu membaca secara baik sehingga dapat menangkap  Firman Tuhan utuh tanpa membaca teks pada panduan?  Untuk pertanyaan ini, disediakan tujuh pilihan  jawaban, namun umat hanya boleh memilih satu jawaban.
      Pertanyaan kedua:  Jika ada kendala (terkait dengan kemampuan lektor membaca Firman), pada umumnya apa sebabnya? Untuk pertanyaan ini, disediakan lima pilihan  jawaban, dan umat boleh memilih lebih dari satu  jawaban.
      Dari 700 lembar survei yang sampai ke tangan umat,  dikembalikan 619 lembar.
Adapun jawaban atas pertanyaan pertama dan analisisnya, sebagai berikut:


    Berdasarkan hasil survei di atas, kemampuan Lektor menurut para responden yang mengembalikan penilaian mereka didominasi oleh penilaian bahwa “sebagian besar” Lektor memiliki kemampuan (36%). Namun bila angka terbesar ini dinilai dengan standar absolut (50% plus 1) maka Lektor yang dinilai memiliki kemampuan masih kurang dari separuh, atau lebih sedikit dari kisaran sepertiga. Tentu angka ini masih perlu ditingkatkan, mengingat peran Lektor dalam menyampaikan pesan kitab suci sangat sentral. Lektor dengan kemampuan yang baik akan menarik atensi umat dalam mendengarkan dan memahami isi kitab suci yang dibaca. Oleh karena itu, hal ini bisa menjadi masukan bagi Tim Kerja terkait agar melakukan pelatihan menjadi Lektor yang baik, di samping kesungguhan berlatih para Lektor, sehingga dalam survei di masa datang, hasil penilaian mengenai jumlah Lektor yang memiliki kemampuan akan meningkat angka yang diraih, paling tidak lebih dari 50%.

      Peluang peningkatan itu sebenarnya ada, atau bahkan secara akumulatif sudah tampak. Bila kita mencermati hasil penilaian kemampuan pada urutan kedua, yaitu “sebagian ya, sebagian tidak”, maka angka “sebagian besar” memiliki kemampuan di atas (36%) sebenarnya sangat potensial memiliki penambahan jumlah prosentase. Anggap saja dari angka 28% di atas mengandung pengandaian bahwa separuh (14%) memiliki kemampuan dan separuh yang lain (14%) belum memiliki kemampuan memadai, maka angka 14% ini akan cukup memberi penambahan angka pada jumlah Lektor yang dinilai mampu di atas menjadi 50% (36% + 14%). Maka dengan angka ini, kita mendapatkan gambaran kemampuan Lektor yang cukup menggembirakan, yaitu 50% atau separuh.

      Bila angka optimistis ini ditambah dengan penilaian bahwa Lektor telah “semua mampu” (14%) maka angka 50% di atas akan meningkat menjadi 64% (50% + 14%). Ini berarti lebih dari 2/3 jumlah Lektor telah dinilai mampu.

     Angka di atas akan kian menggembirakan bila kita baca dengan nada optimistis, yaitu ditambah dengan penilaian bahwa “sebagian kecil” Lektor telah mampu, yaitu 11%. Akumulasi akhir dari semua angka optimistis ini akan berubah menjadi 75% (64% + 11%). Ini artinya sebagian besar Lektor (75%) dinilai oleh umat telah mampu memerankan tugasnya dengan baik.

      Bila kita membaca dari sudut pandang sebaliknya, maka angka penilaian negatif hanya berasal dari penilaian-penilaian berikut ini. Pertama, “semua tidak mampu”: 1%. Kedua, “...sebagian tidak”: 14% (dengan mengambil angka tengah atau sepauh). Total dari penilaian negatif yang bisa ditafsirkan ini berada pada angka 15%.

      Sedangkan  mereka yang tidak menyatakan penilaian, mampu atau tidak, mencapai 10%. Angka ini merupakan hasil penjumlahan dari penilaian: (1) “tidak sah”: 5%; (2) “tidak berpendapat”: 1%; dan (3) “syukur ada lektor”: 4%.

     Secara demikian, secara akumulatif, kita dapat menafsirkan bahwa 75%n umat yang berpartisipasi dalam survei menilai bahwa para Lektor telah mampu “mengemban” tugas mereka. Hanya 15 % yang menilai para Lektor tidak memiliki kemampuan. Dan 10% lainnya tidak memberikan penilaian. Bila angka 10% ini dianggap tidak memberikan penilaian, maka total pemberi penilaian hanya 90%. Ini berarti dari 90% umat yang bersedia menilai ternyata 75% di antara mereka menilai bahwa para Lektor telah mampu melaksanakan tugas mereka. Angka ini kiranya cukup menggembirakan. Proficiat untuk para Lektor.

      Di balik angka itu kita dapat menafsirkan bahwa pesan kitab suci telah disampaikan secara (1) jelas (intonasi, ritme dan aksentuasi), (2) mudah dimengerti dan dipahami isinya, dan diharapkan (3) bisa meresap di dalam hati (dihayati), serta (4) akan “menancap” dalam ingatan dan kesadaran umat, sehingga pada akhirnya sabda kitab suci dapat menjadi tuntunan dalam menapaki, menafsirkan, menghayati dan merefleksikan kehidupan yang dialami, baik secara personal, dalam keluarga, bertetangga, pekerjaan dan bermasyarakat. Melalui pemahaman dan penghayatan demikian, kitab suci menjadi “sungguh hidup” melalui para umat yang melaksanakan dan menghayati palaksanaan sabda itu. Inilah yang mungkin dapat ditafsirkan sebagai aplikasi dari sebagian kata-kata doa Bapa Kami: “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu, di atas bumi, seperti di dalam surga”.

      Melalui praksis kehidupan keimanan yang diresapi sabda kitab suci inilah maka “perutusan” yang disampaikan Romo di akhir misa lantas menjadi sungguh mewujud di dalam kehidupan riil. Inilah “sabda yang hidup” melalui kesaksian dan pewartaan para kiprah umat. Pada hidup yang dinafasi oleh sabda kitab suci inilah kita dapat menafsirkan telah terjadi “bersatunya manusia dan Tuhan” atau “manunggaling kawula lan Gusti”, manusia berperan melalui menangkap, memahami, menghayati, mengaplikasikan, serta merefleksikan kehidupan dengan pesan sabda Ilahi, sedangkan Gusti atau Tuhan hadir melalui sabda. Sabda Tuhan menjadi “daya hidup” yang menghidupi relasi manusia dengan sesama dan semesta serta relasi manusia dengan Tuhan.

        Dengan tuntunan sabda itulah maka sesungguhnya umat juga bisa menjadi orang baik yang jauh dari kejahatan. Inilah yang juga dikatakan di dalam doa Bapa Kami: “... dan bebaskanlah kami dari yang jahat”. Kejahatan dapat berasal dari dalam diri dengan aneka energi negatif yang bersarang dalam diri (“Panji Setan”). Sehingga untuk mengatasinya, kita perlu untuk merengkuh, melakukan dan menghayati sabda Tuhan (“Panji Kristus”) melalui kitab suci. Dengan demikian kita dapat menghindarkan diri dari aneka dorongan, gejolak, ketidakteraturan internal diri kita. Gerak-gerik batin dalam aneka ketidakteraturan dapat dirasakan, dipilah dan dipilih yang selaras dengan kehendak Ilahi. Pada titik inilah refleksi, meditasi dan kontemplasi menjadi sarana penjernihan diri dalam hidup “ramai” di dalam keluarga dan masyarakat. Inilah “contemplation in actio”, atau “ mati dalam kehidupan dan hidup dalam kematian” (“mati sajroning urip lan urip sajroning pati”). Kita lantas hidup melalui dan digerakkan oleh roh. Hidup badani dinafasi oleh hidup rohani.

        Bila sudah demikian halnya, maka semoga Tuhan menolong kita terbebas dari kejahatan yang berasal dari luar diri. Ini yang juga dapat ditafsirkan dari frase yang sama “...dan bebaskanlah kami dari yang jahat”.

        Mencermati penafsiran demikian, yang tentu saja masih bersifat hipotetis, maka kita dapat menilai betapa pentingnya tugas Lektor dalam membacakan kitab suci. Dalam diri Lektor terdapat tugas maha penting: membaca, menyampaikan, menanamkan sabda Tuhan di dalam hati umat. Ini selaras dengan apa yang diucapkan bersama dalam misa: “Tanamkanlah SabdaMu ya Tuhan...dalam hati kami...”. Melalui tugasnya Lektor berperan serta dalam “menghadirkan” Tuhan melalui sabda kitab suci, sebagaimana frase doa Bapa Kami ini: “datanglah KerajaanMu, jadilah KehendakMu, di atas bumi, seperti di dalam surga”. Maka menjadi Lektor sesungguhnya bukan hanya membaca dengan indah dan menarik, melainkan juga menghayati bagaimana menyediakan diri sebagai lantaran kehadiran Tuhan melalui sabda kitab suci yang dibaca dengan seluruh totalitas dan penghayatan batin terdalam dengan seluruh upaya refleksi hidup di dalamnya. Secara demikian, mungkin “getar nada dan makna” akan “merayap pelan” menembus ke dalam sanubari umat yang hadir. Lektor adalah “mediator” antara Tuhan dengan umat melalui sabda kitab suci yang dibaca. Tentu ini pada tataran penangkapan, pemaknaan, penghayatan dan “penancapan” esensi sabda di dalam lubuk hati dan kesadaran umat. Ini tidak berarti “menuhankan kitab suci”, tetapi mencoba memahami hakikat Lektor, kitab suci dan sabda yang dibaca secara lebih mendalam dan bermakna.

      Untuk meraih kemajuan di masa datang, tantangannya adalah bagaimana para Lektor berlatih dan melaksanakan tugasnya lebih baik agar pilihan jawaban (1) “semua mampu” dan (2) “sebagian besar...” memperoleh hasil penilaian lebih baik. Tentu saja akan luar biasa menggembirakan andaikata 75% umat menilai Lektor “semua mampu”, bukan hanya 14% seperti hasil survei di atas. Atau sekurang-kurangnya, kombinasi kedua pilihan di atas (“semua mampu” dan “sebagian besar...”) bisa mencapai angka 75%. Secara demikian, tugas perbaikan masih melekat pada diri para Lektor. Tim Kerja terkait kiranya akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan ini. Semoga.
         Bagaimana dengan jawaban atas pertanyaan kedua?  Berikut hasil dan analisisnya.
         

       Dari hasil di atas, tampak  memang bahwa sound system menjadi kendala yang paling banyak dipilih sebagai penyebab kinerja lektor  kurang optimal. Jadi, apa yang disampaikan  tertulis oleh  salah  satu  umat itu, juga  dirasakan  umat lain.
      Apa yang bisa ditafsirkan dari data survei di atas? Terkait dengan kekurangan para Lektor dalam melaksanakan tugas, beberapa penyebab dalam tabel di atas dapat dijadikan indikator penilai. Beranjak dari data di dalam tabel, bila diurutkan, kekurangan itu disebabkan oleh: (1) sound system (43%); intonasi (34 %); (3) artikulasi (26%); (4) tempo (22%); dan (5) volume (16%).  Dari seluruh responden, 11 % di antaranya tidak memberikan jawaban. Bila kita cermati, faktor alat yang dinilai terbesar sebagai penyumbang kekurangan itu, yaitu sound system (43%). Selebihnya, faktor pelaku, yaitu para Lektor, menjadi penentu kedua. Meskipun demikian, akumulasi faktor-faktor  yang ditentukan oleh Lektor sesungguhnya lebih besar daripada faktor oleh alat (sound system), yaitu intonasi (34%), artikulasi (26%) dan tempo (22%), yang sedara keseluruhan berjumlah 77%. Ada penyebab yang sebenarnya dapat dipengaruhi oleh orang dan alat, yaitu volume (16%), Seandanya faktor volume ini kita bagi rata, menjadi  8% untuk akat dan 8% untuk orang maka, secara diametral faktor alat menentukan sebanyak 8 % + 43% = 51%, sedangkan faktor manusia berpengaruh sebanyak 77% +8% = 85%. Antara faktor alat dan manusia berselisih 34%.

     Apa yang bisa kita baca dari survei berjawaban lebih dari satu di atas? Mencermati perbandingan faktor alat dan manusia di atas maka, kualitas sound system dan pengaturan volumenya kiranya merupakan faktor yang “lebih mudah” untuk dibenahi. Pertama, operator kiranya perlu memastikan kualitas dan setting sound system agar sungguh maksimal dapat mendukung kerja Lektor dalam membaca kitab suci. Kedua, operator perlu mengantisipasi berapa besar umat yang akan hadir dalam misa. Pola kehadiran umat dalam misa, hari sabtu dan minggu, atau perayaan hari besar atau pesta nama, dapat dijadikan patokan untuk mengukur besaran volume sound system yang dibutuhkan agar suara Lektor mampu menjangkau kemampuan dengar umat di semua posisi. Cek suara di semua sudut dan posisi tempat duduk menjadi penting untuk dilakukan. Kualitas setting dan besaran volume sound system bisa dicatat sebagai pola baku dukungan suara oleh sound system.

      Faktor manusia yang menerima porsi lebih besar dalam menentukan kualitas kerja Lektor  (85%) kiranya menjadi perhatian berikutnya.  Dengan aneka latihan dalam hal : (1) intonasi; (2) artikulasi; (3) tempo dan (4) volume, diharapkan kemampuan Lektor akan meningkat. Karena survei ini bersifat umum, maka kita tidak menerima informasi Lektor mana yang paling baik, baik, kurang baik, dan tidak baik. Oleh sebab itu, penilaian internal Tim Lektor-lah yang akan mengetahui, lektor mana yang terbaik, atau lebih baik, daripada rerata kemampuan Lektor secara umum. Kemampuan Lektor yang terbaik inilah yang dapat dijadikan ukuran pencapaian kemampuan bagi Lektor lain, termasuk yang masih baru. Lektor yang dinilai paling atau lebih baik kemampuannya dapat menjadi pendamping latihan bagi yang lain. 
     Secara demikian, latihan adalah media pembelajaran bersama: sebagai pembelajar dan pengajar; berlatih dan melatih, sehingga Gereja juga merupakan tempat untuk melakukan aktualisasi diri, peningkatan kapasitas, berbagi pengetahuan dan kemampuan, dan menjalin keguyuban bagi mereka yang berminat sama (dalam hal ini sebagai Lektor). Keempat poin penyumbang kekurangan Lektor dalam bertugas di atas dapat menjadi acuan dalam berlatih.  
     Dengan pemahajman dan penghayatan betapa sentralnya peran lektor dalam membacakan dan menyampaikan sabda Ilahi sebagaimana paparan di muka, maka ketika berlatih, hal ini bukan semata-mata persoalan teknis, psikis dan fisik, malainkan ada pula persoalan penjiwaan dan spiritualitas. Ketika berlatih membaca bacaan kitab suci tertentu, maka Lektor bukan hanya membacanya, melainkan juga memahami isi dan konteks pesan, sehingga penghayatannya akan kian mendalam. 
    Dengan begitu, pendalaman kitab suci juga praktis dilakukan oleh seorang Lektor dengan suka cita, karena dengan demikian, menjadi Lektor adalah suatu anugerah, berkah, bahwa ia lebih dulu dapat menerima sabda Ilahi, yang kemudian ketika ia membacakannya kepada umat, ia menyampaikan berkah itu kepada sesama. Ini senada dengan penghayatan doa Rm. G Utomo, Pr., yang tinggal di Paroki Ganjuran, yang selalu “mohon berkat agar menjadi berkat bagi siapapun dan apapun”, sebagaimana yang disampaikan dalam homili perayaan imamatnya yang ke 50 di Geraja Sidowayah, Klaten, belum lama berselang.***