Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Mbah Warsi:
Ora omah-omah ora apa-apa, aku arep ndherek Gusti
(Tidak menikah tak apa-apa, saya mau ikut Tuhan)

 (1)
"Ora omah-omah ora apa-apa, aku arep ndherek Gusti" (Tidak menikah tidak apa-apa, saya mau ikut Tuhan). Kata-kata itu  dia ucapkan menanggapi perkataan salah seorang pamannya yang bernada menakut-nakuti: "Nek kowe baptis, bakal ora omah-omah" (Kalau dibaptis, kau tidak bakal berumah tangga)."
   Sebelumnya, dia meminta kepada orangtuanya agar diijinkan dibaptis.  Niatnya  itu  ditentang ayahnya, sedang ibunya mengijinkan. Karena tekadnya
begitu kuat, orangtuanya menyerah.  Yustina Subirah Warsito Utomo, atau 
sekarang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Warsi, dibaptis tahun 1953 oleh Rm. Utoyo di kapel Gadingan, jl. Kaliurang, Sleman. Saat itu orangtuanya belum memeluk agama apapun.  
      Bagi Mbah Warsi, mengikuti Tuhan berarti berserah kepada-Nya. Dengan berserah kepada-Nya,  tidak ada yang perlu dikhawatirkan.  Dan kenyataannya, tahun 1956, toh dia menikah dengan Warsito Utomo, pemuda dari Dusun Demangan,  tempat tinggalnya sekarang,
     Sikap berserah kepada-Nya dan karena itu tidak mengkhawatirkan apapun, menjadi sikapnya dalam menjalani kehidupan. Dia mengisahkan, puluhan tahun lalu, hampir  setiap hari sekitar pukul empat  pagi dini hari dia berangkat dari rumahnya ke pasar Prambanan menelusuri pematang sawah atau jalan setapak, dengan jarak sekitar sepuluh kilometer.
      Saat itu jalan raya seperti sekarang belum ada. Pukul enam atau  tujuh pagi, dia tiba di pasar, lalu   menjual tembakau yang dibawanya. Menjual tembakau adalah keahlian yang diwarisi Mbah Warsi dari ayahnya.  Ayahnya mengajarinya bagaimana memilih tembakau yang baik dengan cara mencium baunya.  Ayahnya juga mengajarinya seluk belum berdagang tembakau.  Tambakau yang akan dijual dibeli di pasar Jangkang, sekitar lima kilometer dari rumahnya.  Dia pergi sendiri berdagang tembakau.  Suaminya tinggal di rumah, bertani.
      Sekitar tengah hari, dia akan pulang.  Belakangan, setelah bis ada, dia kadang-kadang naik bis. Namun lebih sering dia berjalan sendirian. 
      Pada hari yang berbeda, dia kembali melakukan perjalanan  seperti itu menuju ke utara, dari rumahnya ke pasar Pakem.  Jarak yang harus ditempuhnya sekitar delapan kilometer.  
      Tapi dia tidak pernah takut.   Di sepanjang jalan dia mendaraskan doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Malaikat Tuhan. Doa itulah yang memberinya kekuatan.  Dan itu puluhan tahun dilakoninya.
      Sikap berserah dan tidak mengkhawatirkan apapun, menumbuhkan sikap rendah hati dan baik terhadap setiap orang. Hidup dijalani dengan hati tenteram.
     Sikap inilah yang dilihat para tetangganya menonjol dalam keluarga Warsito Utomo muda sebagai keluarga Katolik.  Waktu itu,  di Dusun Demangan, hanya ada tiga keluarga Katolik.  Pertikaian antar tetangga masih sering terjadi, masih banyak orang main judi dan mencuri, demikian pula pertengkaran di dalam keluarga.
       Keteladan keluarga Warsito Utomo menjadi bibit kesadaran bagi keluarga tetangga untuk meninggalkan pola kehidupan yang sebelumnya dijalankan, yang dinilai tidak layak dipertahankan.  Kesadaran  semacam itulah --  menurut Mbah Warsi -- menyebabkan seorang kecu (pencuri) mengemukakan alasan mengapa mau dibaptis:  "Aku nek baptis merga niru uripe pak Warsito." (Saya mau dibaptis karena ingin meniru hidup pak Warsito). 
     Belakangan, keluarga Katolik di Dusun Demangan semakin bertambah, dan bahkan kini menjadi mayoritas.*** (bersambung)(PRonP/MEttyTP)