Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Empati Penyintas bagi Korban Merapi:
Tiga Tahun Tak Mengayuh Sepeda Onthel

Tiga tahun sudah dia tidak mengayuh sepeda onthelnya. Ke mana saja dia  pergi, ke  gereja, atau menghadiri pertemuan lingkungan, atau ke pasar, dilakukannya dengan berjalan kaki. Tubuhnya memang masih kuat. Jadi berjalan kaki bukan masalah baginya.
     Ketika ditanya mengapa, dia  hanya mengatakan bahwa sepedanya telah tua, kocak. Tukang sepeda sudah enggan memperbaikinya.  
     Namun, berjalan kaki bagi Paiman, 81 tahun, adalah menunjukkan empatinya terhadap tetangga maupun saudara-saudaranya yang telah dipanggil Bapa ke surga saat erupsi Merapi. Dengan empati yang sama pula, itu sebabnya dia tidak mau pindah ke huntap (hunian tetap) yang hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Belum seribu hari.  Itu alasannya.
      Meski kenyataannya hitungan seribu hari sudah lewat, bahkan hitungan tiga tahun juga sudah berlalu, dan banyak orang mencoba meyakinkan dia tentang hal itu berkali-kali,  dia tetap bersikeras saat itu belum tiba.  Entah bagaimana caranya menghitung dan menetapkan kapan saat seribu hari atau tiga tahun tiba.  
     Dia tetap bertahan di rumahnya, di dusun Plumbon Lor, Cangkringan. Padahal berkali-kali petugas membujuknya untuk pindah ke huntap. Dia hanya menjawab bahwa waktunya belum tiba, belum seribu hari.  Siang hari, apabila tidak ke sawah, dia sering ditemani adik laki-lakinya Benyamin (71 tahun)  dan adik perempuannya Basirah (60 tahun). Malam dia tidur sendirian di sana. Dari dulu dia sudah terbiasa hidup sendiri. Dia seorang selibat awam.
     Dia juga tidak peduli saat hujan turun, air setetes demi setetes membasahi rambutnya yang sudah memutih, karena beberapa genteng  atap rumahnya sudah agak renggang. Dia  hanya tertawa,  seraya berkata:  "Banyune padha nunut ngiyup" (air hujan ikut berteduh).
     Baginya, rumahnya itu adalah tempatnya menjalani kehidupan selama puluhan tahun. Berbagai suka duka kehidupan terjadi di rumah itu, menjadi kenangan yang terlukis di ingatannya. Emosinya melekat ke rumah itu, bukan ke huntap.  
      ***
Paiman adalah salah seorang penyintas Merapi yang dikunjungi Rm. Robertus Triwidodo, Pr bersama tiga umat Gereja St. Petrus & Paulus Babadan, Sabtu 16 November 2013.  Selain Paiman, ada empat keluarga lain yang juga dikunjungi. Dari kelima keluarga, empat merupakan keluarga Katolik, sedang satu lagi keluarga Muslim.
     Kunjungan semacam itu berlangsung rutin sekali sebulan, selama dua tahun terakhir, sejak erupsi Merapi.  Setiap keluarga yang dikunjungi mendapat bantuan beras 25 kg, minyak goreng, gula, teh, mie instan, kecap, garam, dan bumbu. Menurut Rm. Robertus Triwidodo, Pr, bantuan itu diperoleh dari berbagai donatur.
      Lereng Merapi kini sudah berubah.  Rumah-rumah baru seperti huntap sudah ramai didiami para penyintas Merapi.  Banyak pula rumah baru yang dibangun. Pohon-pohon tumbuh tinggi dengan daun-daunnya yang hijau rimbun.  
     Namun, banyak rumah  yang sebelum erupsi Merapi dihuni, kini tak berpenghuni, karena pemiliknya sudah pindah ke huntap atau ke tempat lain yang dinilai lebih aman. Rumah-rumah tak berpenghuni itu, yang berada di zona merah Merapi, diam membisu. Ada yang dijaga bangkai beberapa sepeda motor yang terbakar saat erupsi.  Hanya beberapa orang yang seperti Paiman, tetap tinggal di rumah lamanya.***