Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Mbah Warsi (2-habis):
Kedah matur nuwun kaliyan Gusti ....
(Hendaknya selalu bersyukur kepada Tuhan....)

Selalu berserah dan percaya penuh akan penyelenggaran-Nya dan karena itu tidak mengkhawatirkan apapun, adalah iman teguh yang dihidupi dan menghidupinya sampai kini, saat dia telah berusia 73 tahun.  
    Dengan iman yang teguh itu, dia merasakan betapa Tuhan selalu hadir menolongnya, dalam suka-duka perjalanan hidupnya. Dan karena itulah dia tidak mau mengeluh. “Kedah matur nuwun kaliyan Gusti, nek mboten mangke ngresula kemawon.” (hendaknya selalu mengucap syukur pada Tuhan, kalau tidak pasti akan mengeluh terus). 

Tidak pernah diberitahu 
    Iman yang teguh membuat Mbah Warsi selalu siap dengan rendah hati menerima apa yang ditentukan oleh-Nya bagi dirinya maupun keluarganya. Sebagai contoh, dia mengisahkan bagaimana salah satu putrinya, Theresia Antoni Sutini menjadi biarawati di Kongegrasi SFD. 
    Mbah Warsi tidak ingat alasan apa yang mendorong putrinya menjadi biarawati. Dia hanya mengingat kejadian saat putrinya diajak ke Rumah Sakit Panti Rapih waktu berusia 3 tahun. Di rumah sakit itu, hadir seorang pastur Belanda yang tinggi besar perawakannya. Begitu melihat sang pastur, putrinya segera berlari dan memeluk si pastur erat-erat. 
    Entah apa makna pertemuan itu bagi putrinya. Yang jelas, selepas SMP, putrinya itu diam-diam mengikuti saran Bruder Pius untuk mendaftar ke Kongegrasi SFD di Sapen. Tetapi niat luhur itu tak pernah diungkapkannya pada ibunya. Putrinya selalu berkata dia akan menjadi guru dan mendaftar di SPG. Akhirnya sang ibu tahu, karena putrinya harus menempuh pendidikan postulat di Kudus, Jawa Tengah. 
   Dia juga mengisahkan pengalaman lain. Pengalaman paling berkesan baginya sebagai orang Katolik. Menjelang ajalnya, ibunya minta dibaptis. Dengan penuh iman karena kondisi darurat, maka ia membaptis ibunya dengan nama Veronika. Tak berapa lama kemudian ibunya menghadap Tuhan di pelukannya. Sampai saat terakhir, dia juga tidak pernah tahu bahwa ibunya ingin dibaptis. 

Melalui Tetangga 
    Begitulah, dia selalu percaya bahwa Tuhan senantiasa menolongnya, dalam keadaan apapun. Dia rasakan betul betapa banyak pertolongan yang dia terima dari-Nya sepanjang perjalanan hidupnya. 
   Mbah Warsi dikaruniai 4 orang anak dengan 2 orang cucu. Suaminya sudah menghadap Bapa di surga. Demikian pula putrinya yang kedua. Putra pertama dan putri bungsunya menekuni pekerjaan sebagai guru di Jakarta. Putrinya yang menjadi biarawati kini berkarya di Parenggean Kalimantan Tengah. 
    Pertolongan itu tak pernah berhenti, kendati Mbah Warsi kini hanya ditemani seorang cucunya yang sedang kuliah di Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Kalau cucunya sedang pergi kuliah, praktis dia hanya sendirian di rumah. Saat seperti itulah, penyakit asam urat dan berbagai penyakit lain yang menderanya dan sudah diidapnya sejak lama, setelah anak-anaknya mandiri dan tinggal di luar kota, seringkali menyerang tiba-tiba. Penyakit yang membuatnya berulangkali berobat atau mondok di rumah sakit, yang menghambatnya untuk mengikuti kegiatan di lingkungan. 
    Manakala penyakitnya kambuh, yang – menurut istilah Mbah Warsi – membuatnya ‘kelenger,’ dia hanya bisa berbaring atau duduk saja di rumah. Terkadang dia tidak bisa bergerak untuk melakukan apapun. Bahkan memasak makanan untuk diri sendiri juga dia tidak mampu. 
   Jika saat seperti itu tiba, dia bersyukur mempunyai tetangga yang baik hati. Tuhan menolongnya melalui tetangga yang baik hati. Mereka datang menolong dan menyediakan makanan baginya. Atau menemaninya berobat, atau mengantarnya untuk dirawat di rumah sakit. 

Ada yang menuntun 
    Kini di ujung usia senjanya, praktis dia hanya mengandalkan kiriman anak-anaknya dan hasil sawahnya yang dikerjakan orang lain untuk menyambung hidupnya dan berobat. Meski demikian, untuk urusan menghidupi Gereja, dia tak berhitung-hitung. Dia ikhlas memberikan Rp 450 ribu untuk mendukung pembangunan panti paroki. Hal ini dirasakannya tak sebanding dengan kasih Tuhan yang begitu berlimpah bagi keluarga dan anak cucunya. 
    Ada satu anugerah yang menjadi berkat baginya, yang dia yakini menunjukkan kehadiran Tuhan untuk menolongnya. Saat sendirian di rumah, manakala penyakitnya datang menyerang, dia tidak leluasa bergerak dan karena itu lebih banyak berbaring. Seringkali dia tertidur sampai malam tiba, sementara cucunya belum pulang dari kampus. 
    Memang, terkadang ada tetangga yang membangunkannya dan membantu menyalakan lampu. Namun lebih sering dia terbangun lebih dulu. Dalam kondisi gelap dia dengan mudah menemukan barang yang dicarinya, meski dalam kondisi tubuh yang payah. Dia merasakan, ada yang menuntun tangannya untuk meraih sesuatu, memperpanjang jangkauannya, sehingga terasa lebih mudah dibanding keadaan biasa.    
    Kehadiran Tuhan yang menolongnya pada saat seperti itu, menyebabkan dia tak pernah takut sendirian. Dia juga tidak cemas jika misalnya tiba-tiba pingsan tanpa ada yang mengetahuinya. 
   Dalam perjalanan hidupnya, kasih dan pertolongan Tuhan tak putus-putus dirasakannya. Inilah yang membuatnya selalu bersyukur, bahwa hidup harus dijalani dengan penuh rasa syukur setiap saat, dari hari ke hari.(PRonP/MEtty Tri P)***