Rumah dengan luas tanah setengah hektar siang itu terlihat lengang, Atap dan halamannya, begitu pula dedaunan tanaman yang tumbuh sekitar rumah, tampak memutih diselimuti debu vulkanis gunung Kelud.
Dari luar pagar, pertanda bahwa yang empunya rumah ada hanyalah pintu gerbang yang tidak digembok, serta mobil Suzuki mpv hijau yang diparkir di garasi. Dengan hanya memandang pertanda tersebut dari luar pagar, tidak lantas begitu saja bisa disimpulkan bahwa pemilik rumah baik-baik saja.
Namun Bu Ratno (82), atau nama lengkapnya Kristina Suratinah,
merasa tidak perlu memasang tanda agar orang lain tahu apakah dia bersama suaminya, Pak Ratno (88), baik-baik saja atau tidak. Walaupun dia sedang sakit, begitu pula Pak Ratno, hal itu tidak akan diberitahu kepada siapapun.
merasa tidak perlu memasang tanda agar orang lain tahu apakah dia bersama suaminya, Pak Ratno (88), baik-baik saja atau tidak. Walaupun dia sedang sakit, begitu pula Pak Ratno, hal itu tidak akan diberitahu kepada siapapun.
Mie Instan
Dan itulah yang terjadi ketika keduanya terserang flu hampir tiga minggu, dari minggu terakhir Januari hingga minggu kedua Februari lalu. Mula-mula Bu Ratno yang terserang. Kemudian Pak Ratno ketularan.
Tidak ada yang tahu keduanya sakit flu. Juga tidak ada yang memperhatikan bahwa selama sakit flu, keduanya tidak pernah lagi keluar rumah membeli makanan. Bu Ratno mengatakan, selama sakit, mereka hanya mengonsumsi mie instan dan kue-kue yang dibeli dari warung di seberang jalan persis sebelah selatan rumahnya.
Sikap tidak memberitahu siapapun walau sedang sakit atau sedang mengalami suatu hal yang membuat mereka kesulitan, adalah sikap yang sengaja dipilih. Saat sakit, mereka hanya akan diam di rumah, tanpa memberitahu siapapun. Bu Ratno mengatakan, sikap itu sesuai imannya. Dia percaya sepenuh hati, asalkan dia berdoa setulus hati memohon agar Tuhan hadir menolong serta mendampingi mereka di rumah itu, Tuhan akan sungguh hadir. Dia lalu mengatakan, bersama Pak Ratno dia selalu berdoa di ruang keluarga, di hadapan patung Bunda Maria.
Menghadirkan Tuhan
Bagi Bu Ratno, berdoa memohon pertolongan Tuhan adalah berdoa untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupannya. Bukan berdoa dengan gambaran bahwa setelah berdoa pertolongan akan dikirimkan dari surga, tanpa kehadiran Tuhan. Dan karena dia yakin Tuhan akan hadir mendampingi dan menolong mereka berdua dalam situasi apapun asalkan selalu berdoa kepada-Nya, dia merasa tidak perlu memberitahu orang lain manakala sedang tak berdaya, seperti saat terserang flu itu.
Menurut Bu Ratno, ibu dari empat anak ini, sikap itu semakin teguh dipertahankan
karena selalu ingat pesan putranya yang menjadi imam Jesuit. Bu Ratno menirukan kata-kata anaknya itu: ‘Kalau sudah tua, pahit, amis, manis, ditelan saja. Kalau sakit tak usah bingung atau membuat orang datang berduyun-duyun menjenguk.’
Bu Ratno dan Pak Ratno memang hanya berdua menjalani hidup sehari-hari di rumah itu, tanpa ditemani pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan berdua. Bu Ratno tidak masak lagi. Makanan sehari-hari dibeli di warung makanan.
Bukan berarti dia terbebas dari kekhawatiran. Dia mengaku adakalanya setelah membaca berita koran atau mendengar berita di televisi tentang perampokan, dia merasa was-was. Bagaimana kalau orang yang berniat tidak baik datang ke rumahnya?
Kalau sudah begitu, dia akan menanyakan kepada suaminya apakah pintu gerbang sudah digembok, apakah pintu semua sudah dikunci. Menangkap adanya nada kecemasan dalam suaranya yang bernada mendesak, Pak Ratno menanggapi bahwa dia khawatirannya berlebihan.
Bukan berarti dia terbebas dari kekhawatiran. Dia mengaku adakalanya setelah membaca berita koran atau mendengar berita di televisi tentang perampokan, dia merasa was-was. Bagaimana kalau orang yang berniat tidak baik datang ke rumahnya?
Kalau sudah begitu, dia akan menanyakan kepada suaminya apakah pintu gerbang sudah digembok, apakah pintu semua sudah dikunci. Menangkap adanya nada kecemasan dalam suaranya yang bernada mendesak, Pak Ratno menanggapi bahwa dia khawatirannya berlebihan.
Mereka juga ingin didoakan
Di ujung usia senja seperti sekarang, bagi Bu Ratno -- yang ikut mendirikan 4 sekolah di Babadan, Wedomartani ini -- tak ada lagi yang dia harapkan dalam hidupnya. Kondisi tubuhnya yang semakin renta dan membuatnya agak berat melangkah, sebenarnya bisa menjadi alasan baginya, begitu pula bagi Pak Ratno, untuk tidak pergi ke mana-mana, berdiam di rumah saja.
Namun berdiam di rumah bukan pilihan. Setiap ada kegiatan lingkungan, undangan apapun, layatan, Bu Ratno dan Pak Ratno pasti datang jika tak ada gangguan kesehatan. Keduanya juga rajin mengikuti misa harian, Sekolah Iman, pertemuan paguyuban keluarga terpanggil dan purna karya.
Namun berdiam di rumah bukan pilihan. Setiap ada kegiatan lingkungan, undangan apapun, layatan, Bu Ratno dan Pak Ratno pasti datang jika tak ada gangguan kesehatan. Keduanya juga rajin mengikuti misa harian, Sekolah Iman, pertemuan paguyuban keluarga terpanggil dan purna karya.
Menurut Bu Ratno, kesediaan mereka ikut serta dalam berbagai kegiatan itu bukan semata-mata untuk membunuh waktu. Kesempatan bersama dalam pertemuan umat seiman adalah kesempatan untuk saling meneguhkan. Bukan hanya dirinya atau Pak Ratno yang perlu didoakan. “Mereka juga ingin didoakan.”(PronP/MEttyTriP)(bersambung)***