Masih jelas dalam ingatan Bu Santi, saat menyaksikan tumpukan bantuan yang menggunung itu, dia merasa menyaksikan bukti kasih Tuhan. Telah diketuk-Nya hati orang-orang yang telah diberi-Nya kelimpahan untuk membagikan kelimpahan itu kepada sesama yang membutuhkan.
Tidak hanya bantuan bertumpuk itu yang dilihatnya sebagai bukti kasih-Nya yang melimpah. Kehadiran para relawan di tempat pengungsian juga menyatakan hal yang sama. Dan itu yang membuat Bu Santi tetap bersemangat tidak pernah merasa lelah mengerjakan apa saja yang bisa melancarkan penyiapan dan penyaluran kebutuhan para pengungsi di tempat pengungsian di SD Glagaharjo.
Sejak erupsi pertama 25 Oktober 2014, Florentina Susanti (53) atau dipanggil Bu Santi, memang
setiap hari di tempat pengungsian itu. Di sana Bu Santi diminta mencatat dan menyortir jumlah dan jenis bantuan yang datang, atau diminta langsung menyampaikannya kepada para pengungsi di tenda masing-masing. Kadang-kadang, dia juga diminta mengantarkan barang bantuan ke pengungsi di kampung lain. Kalau mendapat tugas seperti ini, dia meminta anak bungsunya, Ary membawa kendaraan untuk mengangkut barang bantuan tersebut.
Keterlibatan Bu Santi membantu di pengungsian bermula dari keprihatinan atas nasib pengungsi setelah erupsi Merapi 25 Oktober. Tumbuh keinginannya membantu sebisanya untuk meringankan penderitaan para pengungsi tersebut. Bu Santi lalu mengumpulkan apa yang ada di rumahnya, seperti pakaian layak pakai, dan bahan makanan. Bahkan merasa masih kurang, dia tak ragu merogoh kocek untuk membeli tambahan bahan makanan seperti minyak goreng, dan mi instan, untuk dibawa ke tempat pengungsian.
Bu Santi tidak pergi sendirian ke tempat pengungsian di Glagaharjo. Dia ke tempat itu bersama ibu-ibu umat Gereja St. Fransiskus Xaverius Cangkringan. Kebetulan, di tempat pengungsian di kompleks SD Glagaharjo itu, salah satu koordinator relawan yang mengurusi kebutuhan para pengungsi, adalah Ibu Poniyam, umat seiman satu gereja dan juga Kepala SD tersebut. Karena itu, begitu kesediaan membantu diutarakan kepada Bu Poniyam, Bu Santi dan teman-temannya segera mendapat tugas macam-macam.
Begitulah. Setiap hari, Bu Santi berangkat pagi hari dari rumahnya ke tempat pengungsian yang berjarak sekitar lima kilometer di sebelah utara. Sampai sore di akan berada di sana mengerjakan tugas yang diberikan, lalu pulang menjelang malam.
Sehari menjelang erupsi 5 November, bantuan dari berbagai pihak tiba hampir bersamaan. Ada dari Karina KAS, ada bantuan dari berbagai instansi pemerintah dan swasta, termasuk bantuan perseorangan. Bantuan itu begitu melimpah. Setelah dibongkar dari truk yang membawa bantuan tersebut, barang-barang bantuan sebelum dimasukkan ke tempat penyimpanan ditumpuk begitu saja sehingga tampak menggunung.
Dan ketika menyaksikan tumpukan bantuan yang menggunung itu, saat itu pula tumbuh kesadaran dalam dirinya bahwa apa yang dia saksikan itu adalah bukti nyata kasih Tuhan kepada siapa pun, di mana pun.
Bu Santi tidak sempat berlama-lama merenungkan hal tersebut. Di tengah kesibukannya mencatat bantuan yang berdatangan, menjelang sore hari mulai mendung dan semakin gelap. Tiba-tiba hujan sangat lebat turun. Lalu dari pengeras suara terdengar perintah agar siapapun yang ada di tempat pengungsian itu segera pergi ke tempat aman yang lebih jauh di sebelah selatan.
Bu Santi tidak segera beranjak, dia bermaksud menyelesaikan pekerjaan yang masih dipegangnya. Menyaksikan hal itu, ada yang berteriak supaya dia segera pergi menyelematkan diri, karena nyawa lebih berharga ketimbang barang.
Bersama Bu Lastri yang mengengendarai mengendarai sepeda motor, Bu Santi lantas meninggalkan tempat itu menuju ke selatan, pulang ke rumah. Bu Lastri adalah salah satu ibu-ibu umat Gereja St. Fransiskus Xaverius Cangkringan – seperti Bu Santi – ikur menolong pengungsi di Glagaharjo. Di tengah jalan, keduanya masih sempat mampir di warung membeli jas hujan, untuk melindungi tubuh dari guyuran hujan yang turun semakin deras saja.
Malamnya, sekitar pkl. 01.00, 5 November 2010, erupsi Merapi terjadi lagi. Kekuatannya berlipat dibanding dua erupsi tiga minggu sebelumnya. Banyak penduduk tewas, ratusan rumah hangus atau hancur tertimbun materi vulkanik, begitu pula ternak piaraan penduduk setempat. Tidak hanya itu. Barang-barang bantuan yang menggunung dan belum selesai dicatat oleh Bu Santi, semua lenyap tertimbun materi vulkanik yang dimuntahkan Merapi Jumat dinihari itu.
Bagi Bu Santi, pengalaman beberapa hari menjadi relawan walau kemudian harus meninggalkan tempat pengungsian untuk menyelamatkan diri, sungguh membekas. Dengan senyum yang tidak sepenuhnya lepas karena menahan sedih, dia mengatakan sama sekali tidak menyangka, lima bulan kemudian, justru dirinya dan kedua anaknya harus mengungsi dan mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Sekali lagi, dia tidak hanya menyaksikan, tetapi mengalami sendiri, sebagaimana telah dialaminya sepanjang hidup, Tuhan selalu memberi kelimpahan luar biasa.(PRonP/MEttyTriP - bersambung)***