Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Agustian Tatogo (2-habis):
Iman tidak cukup dicicipi, harus dicerna!

Sejak kecil, kehidupan yang berat tidak asing lagi bagi Agus. Ketika dia kelas IV SD, ayahnya, Marius Tatogo (67 th), yang notabene adalah Ketua Dewan Paroki di Epouto, menikah lagi. Agus beserta ibu dan ketiga saudara perempuannya harus segera keluar dari rumah ayahnya.
    Tidak ada jalan lain. Mereka berlima harus tinggal di atas rakit di tepi danau. Itu terjadi karena ayahnya mendatangi semua orang yang dikenal di kampungnya seraya mengancam agar tidak memberi tumpangan bagi mereka.
Selama seminggu mereka harus tinggal di atas rakit, menunggu persetujuan pamannya, saudara laki-laki ibunya, yang tinggal Tigi, sejauh 20 km dari Epouto.
Masak, makan, dan tidur dilakukan di atas rakit itu. Akhirnya pesan dari pamannya yang tinggal di Tigi tiba. Mereka boleh datang ke Tigi.
  Di Tigi mereka memulai kehidupan baru berkat pertolongan pamannya. Ibunya berjuang sendirian membesarkan Agus dan ketiga saudarinya. Kadang ibunya mencari ikan ke danau, kemudian menjualnya ke pasar. Lain kesempatan ibunya membeli bahan makanan ke desa pelosok, lalu menjualnya di pasar.
      Apakah dia sakit hati terhadap ayahnya? Agus mengaku, dulu dia sempat sakit hati. Tetapi akhirnya dia sadar, barangkali kondisi saat itulah yang menyebabkan ayahnya berbuat seperti itu. Maka, ketika ayahnya menelepon pada tahun kedua setelah dia kuliah di Yogyakarta, dia sempat terkejut. Entah dari mana ayahnya mendapat nomor ponselnya. Namun dia menyapa ayahnya baik-baik. Dia tidak menaruh dendam sedikit pun. 

Naik kapal laut
    Menghadapi kesulitan hidup, tidak membuat Agus merasa tidak berdaya. Ibunya memang selalu mengajarkan bagaimana mensikapi hidup, betapapun beratnya. Selain ajaran Kristiani tentang kehidupan, Agus juga berkenalan dengan falsafah kehidupan sukunya – suku Mee – dari ibunya. Berbekal apa yang diajarkan ibunya itulah Agus merasa lebih yakin menjalani hari demi hari kehidupannya. 
      Dari semua petuah yang disampaikan ibunya, ada satu hal yang selalu diingatnya, yaitu agar selalu dekat dengan Tuhan. Karena itu, dia selalu rajin berdoa. Dia selalu menghadiri perayaan ekaristi. Sejak duduk di SMP di juga menjadi putra altar. Dia yakin, dengan begitulah dia bisa dekat dengan Tuhan. 
     Kesungguhannya belajar dan sekaligus terlibat aktif dalam kehidupan menggereja mendapat perhatian para romo SJ yang mengelola SMP di mana Agus bersekolah. Terlebih karena dia pernah mengutarakan keinginannya menjadi imam. 
     Agus lalu didorong untuk mewujudkan panggilannya itu. Dia lalu ditawari untuk bersekolah di SMA YPPK Adhi Luhur, yaitu Kolese LE Coca D’armandville di Nabire, sekolah yang juga dikelola Konggregasi SJ. “Nilai saya sebenarnya tidak begitu bagus. Hanya sedikit di atas rata-rata,” tuturnya mengenang. 
      Setelah lulus SMP, berangkat ke Nabire, 270 km dari Tigi. Agus menjadi siswa di kolese tersebut. Dia tinggal di wisma, tak jauh dari sekolah. Tahun 2010, dia lulus SMA. Rektor kolese, Rm. R Sarto Pandoyo, SJ, bertanya kepada Agus apakah segera memenuh panggilannya dengan mengikuti KPA di Jayapura, atau kuliah di Yogya dengan beasiswa dari Konggregasi SJ. 
     Pertanyaan itu tidak segera dijawab Agus. Dia minta ijin terlebih dulu kepada ibu dan pamannya. Keluarganya tidak setuju. Setelah itu dia meminta kepada Romo Rektor, bahwa kalau diperbolehkan, dia memilih kuliah di Yogya, seraya mengatakan, barangkali setelah lulus kuliah dia akan mempertimbangkan panggilannya kembali. 
      Permintaannya dipenuhi. Dia berangkat ke Yogyakarta naik kapal laut, dan menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan Jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma. 

Disuruh mengulang 
      “Sebenarnya saya menyukai bahasa dan psikologi. Ketika mendaftar ke Universitas Sanata Dharma, saya mendaftar ke bahasa, psikologi, dan matematika. Ternyata saya diterima di matematika,” kata Agus menjelaskan mengapa memilih jurusan matematika. 
     Memilih jurusan matematika lebih karena merasa tertantang. Pelajaran matematika oleh banyak temannya dianggap sebagai pelajaran yang sulit. Dia sendiri mengalami kesulitan yang sama. Sewaktu baru masuk kelas I SMA di Nabire, dia tidak bisa matematika. Sebagai contoh, oleh guru, dia bahkan disuruh mempelajari perkalian 10 x 11 berurutan sampai 10 x 20, lalu dibalik menjadi 20 x 19 berurutan sampai 20 x 10. Tugas mempelajari perkalian itu diberi waktu selama seminggu. 
    Sekalipun sudah diberi tugas seperti itu, dia merasa tidak maju-maju juga. Akhirnya dia mendatangi seorang insinyiur elektro – seorang keturunan Manado yang bekerja untuk proyek Konggresi SJ dan kebetulan tinggal di wisma itu – meminta agar dibimbing pelajaran matematika. Permintaan itu dipenuhi. Agus secara teratur datang belajar dan akhirnya dia mulai menyukai matematika. 

Memberi les 
     Kesadaran bahwa seperti yang dialaminya sendiri banyak siswa menghadapi kesulitan saat mempelajari matematika, mendorong Agus untuk membantu mereka. Di antara kesibukannya mengikuti kuliah, aktif dalam kehidupan menggereja, dia menyempatkan diri memberi les kepada yang membutuhkan. 
     “Saya memang mendapat honor. Dari honor itu saya bisa membeli buku. Hampir setiap bulan saya membelanjakan uang antara Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu. Selain membeli buku-buku untuk keperluan kuliah, saya membeli buku psikologi dan bahasa. Saya senang membaca buku-buku seperti itu. Kalau hanya mengandalkan uang beasiswa dari SJ sebesar Rp 700 ribu per bulan, saya tidak bisa membeli buku. Tapi saya memberi les bukan demi uang. Saya senang kalau siswa yang saya bantu bisa mengikuti pelajaran matematika di sekolah. Dan saya terharu ketika ada orangtua yang berterima kasih, karena nilai matematika anaknya semakin baik. Saya diberi amplop berisi sejumlah uang,” katanya menjelaskan alasannya memberi les. 
     Agus tidak hanya memberi les.matematika kepada anak sekolah. Dia juga memberi les matematika – dengan cuma-cuma – kepada para mahasiswa sedaerahnya yang tergabung dalam IPMANapandode dan IPMA Derai, yang kuliah di berbagai Universitas di Yogyakarta. 

Persiapan Diri 
      Memberi les, mengoleksi buku, selain menuntaskan kuliah, adalah bagian dari upaya yang dilakukan oleh Agus untuk mempersiapkan diri menjalani masa depan. 
    Dia mengemukakan, dengan memberi les dia memaksa dirinya untuk mempelajari ulang apa yang dia dapatkan dibangku kuliah. Lagi pula, dengan memberi les, sesungguhnya dia sudah membiasakan diri bagaimana menghadapi siswa yang kesulitan menghadapi pelajaran. Memberi les menurutnya juga akan membantunya dalam mengerjakan tugas praktek. 
      Mengoleksi buku bagi Agus penting, karena dia sadar di kampung halamannya sangat sukar memperoleh buku. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan, yang bisa membantu orang untuk maju. Dan karena itu, apabila setelah lulus kelak dan kembali ke kampong halaman menjadi guru, dia akan membawa semua koleksi bukunya. “Saya heran kalau melihat teman-teman mahasiswa seasal di tempat kos, banyak yang tidak punya buku sama sekali. Entah seperti apa ilmu yang dimiliki kalau tanpa mempunyai buku,” katanya. 
     Dia juga mempersiapkan diri dengan tetap konsisten menjalani hidup dengan cara yang dianggapnya benar, sesuai dengan iman yang dimiliknya. Sebab itu, dia lebih memilih tinggal di kamar kontrakan ketimbang di asrama daerah. Menurutnya, tinggal di asrama membuka peluang terkena berbagai pengaruh yang kurang baik, yang seringkali terjadi karena kurang enak menolak ajakan teman seasal. 
     Bukan berarti di tempat kos pengaruh serupa tidak ada. Hal kecil seperti suara musik yang terlalu keras sehingga mengganggu konsentrasi saat belajar, sampai perilaku anak kos yang kurang pantas, juga sering terjadi. Dia bercerita, dia pernah diminta oleh pemilik kamar kontrakan untuk mengusir dua penghuni kamar kos di rumah yang sama pindah saja. Mahasiswa tersebut dinilai berkelakuan buruk, dan tidak berubah walau sudah diperingati berkali-kali. Agus mengatakan, dia berbicara dengan baik-baik dengan keduanya dan akhirnya mereka pindah. 
   Berupaya senantiasa berbuat dan bersikap baik terhadap setiap orang, serta berani menyatakan kebenaran, adalah bagian dari perwujudan imannya. Bagi Agus, dekat dengan Tuhan berarti memperoleh kekuatan menjalani hidup, dan itu tercermin dalam sikap serta perbuatan. Begitulah dia menghayati iman.  “Iman itu, seperti makanan, tidak cukup hanya dicicipi di mulut. Melainkan harus ditelan, kemudian dicerna dalam perut, sehingga seluruh tubuh memperoleh manfaatnya. Karena manfaat itulah tubuh memperoleh kekuatan untuk berbuat sesuatu,” katanya. 

Menjadi guru 
     Kesadaran bahwa dia harus mempersiapkan diri menjadi guru yang baik dan bisa menyebarkan pengetahuan di kampungnya manakala kembali ke sana setelah lulus, secara perlahan terbentuk setelah banyak mengunjungi sejumlah kota dengan naik sepeda. Dia menyaksikan betapa jauh perbedaan kemajuan antara yang dilihatnya di kota-kota di Jawa dan di tempat asalnya. Timbul keinginannya untuk memajukan orang sekampungnya, dengan menjadi guru di sana. 
       Apakah tidak berniat lagi menjawab panggilan menjadi imam? “Panggilan itu masih ada. Tapi itu muncul silih berganti, antara menjadi guru dan menjadi imam,” katanya. 
       Dia sudah siap menanggung resiko apabila tidak menjadi imam. Resiko itu adalah menjadi guru selama 2 x 4,5 tahun di Kolese almamaternya di Nabire. Sehabis masa ikatan dinas itu, dia berencana bekerja di Dinas Pendidikan. Dia mengatakan, bekerja di Dinas Pendidikan merupakan langkah strategis untuk memajukan pendidikan di tempat asalnya, melalui kebijakan-kebijakan yang ditempuh. (PRonP).***