Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Angela Hariyum (1):
Kuatkan saya hidup bersama sakitku

Hidup berdamai dengan sakit yang diidap bukan perkara mudah. Namun itulah yang dialami Angela Hariyum (56), selama 21 tahun ini. 
    Sejak mahasiswa ia sering pingsan tanpa sebab. Kejadian itu berulang ketika masa pacaran hingga berumahtangga. Sampai suatu pagi di 29 November 1992 ketika bangun tidur di pagi hari, ia menyadari suaranya hilang. Saat itu ia sudah mempunyai putri yang baru berusia 2,5 tahun dan bekerja di Pertamina Plaju. 
     Dari pemeriksaan MRI di RS Pertamina Jakarta pada 9 Juni 1993, diketahui ada tumor sebesar 4x3,7 cm yang menempel di batang otak.
Karena kasus itu baru pertama kali di Indonesia, maka pihak Pertamina membentuk sebuah tim dokter untuk menangani kasus tersebut dengan pembedahan otak untuk mengambil tumor tersebut. Jauh di dalam hati, sebenarnya dia tak ingin menjalani operasi. 

Batal Operasi
      Menjelang operasi, ada beberapa kelompok doa yang membesuknya. Bersama mereka ia berdoa, memohon pada Tuhan: “Tuhan, anak saya masih kecil. Beri saya kesempatan supaya dia mengerti pada saat saya tinggal nanti. Kuatkan saya hidup bersama dengan sakitku.” 
   Saat itu suaminya sedang menjumpai dokter yang menangani kasus tersebut dan menanyakan kemungkinan keberhasilan tindakan operasi itu. Mendengar keterangan dokter bahwa keberhasilan operasi tipis, bahkan di Singapura atau Jepang, operasi serupa belum berhasil, maka makin galaulah hatinya. 
   Akhirnya dengan menimbang segala kemungkinan yang terjadi dan risiko yang akan ditanggung, meski saat itu tim dokter yang akan mengoperasinya sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat ia dirawat, akhirnya ia memutuskan untuk menunda operasi dan pulang ke Palembang. 
    Saat kontrol di Palembang barulah ia tahu bahwa surat pengantar dari Jakarta menyebutkan ia menolak operasi, bukan menunda operasi seperti permintaannya. Hal inilah yang makin menguatkan keyakinannya bahwa operasi bukanlah jalan yang dikehendaki Tuhan untuknya. Sejak saat itu ia mengubah pola hidup dan pola makannya. Ia lebih banyak mengonsumsi jus buah dan sayuran, serta tidak mengkonsumsi daging berkaki empat dan semua makanan instan ataupun bahan penyedap makanan kimiawi (mono sodium glutamat/MSG). . 

Tetap bekerja 
    Sekembali ke Palembang, ia tetap bekerja hingga awal tahun 2009. Ia mengatakan: “Hanya suara saya yang hilang. Kemampuan saya yang lain tidak. Saya masih bisa bekerja seperti biasa.” 
    Memang, akibat tumor yang menekan syaraf di batang leher otak itu, lidahnya menjadi mengkerut, mengecil, bengkok ke kiri sehingga pengucapan tidak jelas. Bukan berarti hanya suara yang hilang itu yang dideritanya. 
     Akibat tumor yang menekan batang otaknya, adakalanya rasa sakit yang hebat menyerang ketika bekerja. Itu diatasinya dengan berdiam tidak mengerjakan apa-apa di ruang kerjanya, kecuali berdoa. Setelah berdoa, rasa sakit itu perlahan hilang, dan ia kembali bekerja. 
    Di Pertamina Plaju, ia bekerja di bagian Pengolahan Data Elektronik sebagai programmer. Walau kuliah di Jurusan Teknologi Industri, namun ia cepat menyesuaikan diri dan mengembangkan kemampuan di bidang komputer. Menurut suaminya, A Widijantono, hal itu karena dasar kemampuan matematikanya kuat. 
     Karirnya berkembang hingga setingkat manajer. Dengan posisi itu ia sering bertugas ke luar kota memberi suvervisi di berbagai kantor cabang Pertamina hingga ke Papua. Namun kegiatan seperti itu justru berdampak buruk bagi kesehatannya, terutama karena sering menghadiri jamuan makan. Itu dialaminya sekitar tahun 2007. 
     Karenanya, sejak tahun 2008, ia mulai mempertimbangkan untuk pensiun dini. Kesempatan itu tiba di awal tahun 2009, ketika ada tawaran pensiun dini dari perusahaan. Ia pensiun dini, walau pimpinannya berkali-kali membujuknya untuk terus bekerja. (bersambung)(PRonP/MEttyP).***