Bertahun-tahun Pak Pur (66) menjadi ketua lingkungan. Jabatan itu diembannya dengan tulus, walau ia harus aktif mendatangi umat satu per satu. “Kita yang harus mendatangi mereka, tidak mungkin berharap mereka yang datang.” katanya.
Nama lingkungannya St. Stephanus, namun secara berseloroh orang menyebutnya Stephanus Pencar. Bukan hanya karena salah satu dusun di lingkungan itu bernama Pencar. Kenyataannya, umat Lingkungan St. Stephanus memang tinggal terpencar-pencar dengan jarak yang cukup jauh.
Meski demikian, semangat untuk menghadiri pertemuan lingkungan kuat. Maka, manakala pertemuan lingkungan diselenggarakan, selalu ada permintaan dari umat agar pertemuan itu dilaksanakan tidak terlalu malam. Atau kalau tidak, harus disertai janji akan diantar pulang usai pertemuan.
Maklum, dari 19 KK yang tercatat, hanya tiga KK yang masih utuh sebagai keluarga, dalam arti suami-istri masih lengkap. Selebihnya adalah keluarga dengan ibu-ibu yang sudah lanjut usia sebagai kepala keluarga. Apabila pertemuan lingkungan diselengggarakan terlalu malam, mereka enggan sebab harus berjalan kaki menempuh jalan yang sudah sepi dan gelap untuk pulang ke rumah.
Keadaan seperti itu mau tidak mau harus dihadapinya. Selain menjadi ketua lingkungan, ia sering merangkap berbagai tugas lain seperti menjadi pemandu saat pertemuan pra-paskah, pertemuan doa rosario, BKL, BKS, dan masa Adven.
Ia menyadari itu bukan kondisi ideal, mengingat bahwa pengetahuan dan penghayatan iman umat di lingkungannya seyogyanya tetap diperkaya. Karena itu, pada kesempatan FGD dalam rangka sosialisasi Ardas Keuskupan Agung Semarang 2011 – 2015, ia pernah mengusulkan agar sesekali dimungkinkan pemandu dari lingkungan lain ditugaskan menjadi pemandu di lingkungannya. Cara itu dinilainya akan bisa memperkaya pengetahuan iman umat.
Sekarang, ia berhenti menjadi ketua lingkungan dan menjadi prodiakon. Ia tidak bisa mengelak. Pasalnya, prodiakon terdahulu, sudah menjabat dua periode. Hanya ia yang mungkin mengganti. “Sebenarnya kami hanya tukar tempat. Prodiakon yang saya gantikan, sekarang menjadi ketua lingkungan,” katanya sambil tersenyum.
Pelaut
Nama lengkapnya Yohanes de Brito Purwantoro. Lahir 27 Juli 1948 di Sleman, ia adalah anak sulung dari 6 bersaudara. Menikah tahun 1982 dengan Maria Fransisca Mujianti (53), mempunyai 4 anak dan 2 cucu.
Ketika masih siswa SD, dia sudah suka ke gereja, paling tidak bermain di sekitar halamannya. Mengapa dorongan pergi ke gereja itu timbul di dalam dirinya, dia tidak bisa menjawabnya. Padahal, saat itu dia belum menjadi Katolik. Teman sebayanya, atau bahkan keluarganya, juga bukan Katolik.
Karena sering bermain ke gereja, ia mulai berkenalan dengan umat gereja di Pakem dan akhirnya berkenalan dengan Rm. Rutten, yang menjadi pembimbing rohaninya. Romo itulah yang membaptisnya tahun 1965, saat duduk di kelas I SMA. Romo itu pula yang menjadi guru agamanya selama bersekolah di SMA IKIP Pakem. Ia lulus tahun 1967.
Begitu lulus, Pak Pur merantau ke Jakarta. Mulai tahun 1970 -1985 menjadi awak kapal di berbagai maskapai pelayaran asing seperti dari USA, Belanda, dan Korea, yang semuanya berpangkal di Singapura. Ia sudah berlayar beberapa Negara di Asia, USA, Afrika,dan Eropa. Gaji dikirim ke orang tua untuk beli tanah, atau untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
Setelah anaknya berusia setahun, Pak Pur memutuskan berhenti menjadi pelaut tahun 1985. Meski saat itu gajinya sudah mencapai US$ 2.500,- per bulan, ia sama sekali tak berpikir panjang untuk berhenti. Ia merasa, kalau kumpul keluarga selalu membahagiakan. Kalau tidak kumpul, walau uang banyak, mendengar anak sakit, ia tidak tenang.
Setelah berhenti menjadi pelaut, kembali ke Sleman dan menjadi petani. Selain bertani, Pak Pur juga membuka toko kelontong di tempat kediamannya sekarang, di Bronggang, Argomulyo, Sleman. Usaha itu berjalan baik. Waktu itu, di tempat sekitar belum ada toko serupa.
Mengandalkan Kitab Suci
Ada pesan Rm. Rutten yang selalu diingatnya, yaitu agar rajin membaca Kitab Suci. Pesan itu dilaksanakannya. Sejak merantau ke Jakarta, dan kemudian menjadi pelaut, ia selalu membawa Kitab Suci yang dibacanya secara teratur.
Selama
menjadi pelaut, memang kesempatan untuk menghadiri Perayaan Ekaristi hanya ada
ketika kapalnya berlabuh di suatu pelabuhan pada hari Minggu dan di
tempat itu ada gereja. Mengingat kesempatan itu tidak selalu ada, maka satu-satunya cara untuk mengetahui ajaran Tuhan adalah dengan membaca Kitab Suci. Dengan membaca Kitab Suci saat berlayar, ia tetap dapat merenungkan apa yang dikehendaki oleh-Nya dari dirinya.
Hingga kini ia tetap rajin membaca Kitab Suci. Untuk meningkatkan pengetahuan imannya, ia aktif dalam Kelompok Kitab Suci Paroki St. Petrus & Paulus Babadan. Selain itu, ia juga aktif menjadi anggota Kelompok Devosi Kerahiman Ilahi.
Menjadi Garam dan Terang
Salah satu ajaran Tuhan yang terpateri di hari sanubarinya adalah agar menjadi garam dan terang bagi sesama. Ajaran inilah yang membentuk sikapnya mau melayani orang lain supaya semakin dekat dengan Tuhan.
Sikap melayani itu mulai berkembang selama tiga tahun di Jakarta, sebelum menjadi pelaut. Waktu itu ia masih tinggal di rumah pamannya yang mempunyai beberapa anak. Ia mengajari sepupunya berdoa, membaca Kitab Suci, berdoa rosario, dan selalu mengajak saudara sepupunya agar rajin ke gereja di Cilincing. Ia juga bergabung dengan OMK di gereja itu.
Sikap peduli terhadap sesama juga diperlihatkannya saat erupsi Merapi 25 Oktober 2010. Setiap sore, ia menjadi relawan yang bertugas membentu penyortiran, pengepakan dan distribusi bantuan kepada para pengungsi di SD Glagah Harjo, yang ketika itu menjadi posko pengungsi. Kegiatan itu berhenti setelah erupsi Merapi 5 November, karena keluarganya bersama penduduk sekitar, ada sekitar 500 jiwa, harus mengungsi ke gereja Kalasan. SD Glagahharjo sendiri kini sudah terkubur oleh pasir dan debu vulkanik yang dimuntahkan Merapi.
Setelah keadaan pulih, mereka kembali ke rumah. Kehidupan berjalan seperti sediakala. Selama masa pemulihan, ia ikut aktif berbagai kegiatan seperti pelatihan tanggap bencana maupun pengembangan ukm untuk korban bencana. Selain itu, karena desanya termasuk KRB3 (Kawasan Rawan Bencana III) – rumahnya sendiri hanya berjarak sekitar 500 m dari Kali Gendol, ia juga dilengkapi radio HT dan menjadi anggota perkumpulan radio penduduk. Tujuannya, agar setiap kali ada ancaman bahaya seperti lahar dingin, peringatan dini kepada penduduk sekitar dapat segera disampaikan. Ia mengisahkan, banyak penduduk setempat menjadi korban erupsi Merapi tahun 2010 karena tidak segera menyelamatkan diri ke titik kumpul begitu erupsi terjadi.
Menurut Pak Pur, ada hikmah dari peristiwa erupsi tersebut. Penduduk setempat semakin bersatu karena bencana. Hubungan antar penduduk semakin erat. Hal itu antara lain terlihat saat Idul Fitri dan Natal, masing-masing mau dengan tulus mau bersilaturahmi.
Selalu bersyukur
Sebagaimana dialaminya ketika masih menjadi pelaut yang harus berlayar menghadapi gelombang samudera, ia mengakui kehidupan yang dijalaninya tidak lepas dari pasang surut.
Tahun 2005, di atas tanah kas desa yang terletak persis di depan tokonya, mulai didirikan kios. Toko milik Pak Pur tak lagi kelihatan dari tepi jalan besar, terhalang oleh kios-kios itu. Sebab itu, orang lebih suka belanja ke kios daripada ke toko milik Pak Pur. Akhirnya, tahun 2007, ia memutuskan menutup toko tersebut. Sempat beternak ikan, juga tidak berhasil. Debu vulkanik Merapi membuat semua ikan yang dipeliharanya mati. Kini ia lebih memfokuskan diri sebagai petani. Isterinya membantu menambah penghasilan dengan membuat jajanan pasar.
Pasang surut kehidupan dihadapinya dengan tabah. Dia tidak pernah mempertanyakan mengapa usahanya akhirnya bangkrut, sementara usaha orang lain berkembang. Menurutnya, cara berpikir semacam itu hanya menimbulkan stress.
Sesulit apapun masalah yang ia hadapi, itu tidak pernah membuatnya merasa ditinggalkan oleh-Nya. Ia mengisahkan, seringkali saat menghadapi kesulitan dalam kehidupan, ia merasa Tuhan sungguh hadir untuk menolongnya, terutama setelah ia berseru: “Yesus! Yesus!” Sesudah itu, ia akan merasa lapang, tidak ada lagi beban. Lantas, entah bagaimana, begitu saja muncul dalam benaknya suatu petunjuk apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Sesulit apapun masalah yang ia hadapi, itu tidak pernah membuatnya merasa ditinggalkan oleh-Nya. Ia mengisahkan, seringkali saat menghadapi kesulitan dalam kehidupan, ia merasa Tuhan sungguh hadir untuk menolongnya, terutama setelah ia berseru: “Yesus! Yesus!” Sesudah itu, ia akan merasa lapang, tidak ada lagi beban. Lantas, entah bagaimana, begitu saja muncul dalam benaknya suatu petunjuk apa yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.
Sebab itu, ia selalu bersyukur karena Tuhan selalu mengasihi dan menuntunnya. Ia beryukur, karena Tuhan memanggilnya menjadi umat-Nya. Ia bersyukur karena dituntun untuk melayani umat-Nya.(PRonP/MEttyTriP)***