Oleh: G. L. Lestariati
Dengan sisa-sisa ingatan yang masih ada, kucoba mengungkapkan kisah hidupku sebagai murid Yesus sejak aku kecil hingga kini. Semua ini kutulis sebagai kenangan bagi anak cucuku dan membuat bahagia bagiku. Sebagai lansia yang penuh dengan godaan dan cobaan, tetap hidup bersama Yesus hidup menggereja, hidup yang nyata sebagai bentuk mengasihi sesama.
Aku dilahirkan dalam keluarga besar: 14 bersaudara
dan aku putri ke 12. Dari cerita guruku, juga saudara-saudaraku, aku adalah anak yang nakal, suka memberontak, tapi cerdas. Punya hobi menyanyi dan juga rajin berdoa. Menjadi suster adalah cita-citaku, karena bajunya bagus, pintar menyanyi, dan berdoa. Setiap ada kesempatan, aku bermain ke biara untuk belajar menjadi dirigen dan berdoa yang baik.
Tugas sebagai malaikat kecil, mendampingi kakak-kakak yang akan menerima komuni pertama. Sebagai malaikat kecil berbaju putih panjang berhias bunga di kepala dan membawa lilin bernyala. Dengan bekal hafal lagu-lagu Gregorian dengan not balok yang tak dapat kubaca, juga syair-syair lagu berbahasa latin, aku selalu diikut sertakan paduan suara kakak-kakakku yang remaja.
Setelah menerima komuni pertama, kehidupan rohani terbina melalui berbagai kewajiban. Ikut misa harian di gereja menjadi aturan di keluargaku. Bagi yang tidak ikut misa, ada hukuman “tidak boleh ikut sarapan pagi”. Begitu pula doa bersama keluarga sebelum makan dan setiap malam. Kewajiban lain, ikut pelajaran agama dan mengaku dosa satu minggu sekali, mengikuti retret di sekolah setahun sekali dan rutin ziarah ke Gua Maria. Mengikuti rekoleksi selama masa pra-nikah. Keluargaku juga sangat ketat dalam mengawasi pergaulan putra-putrinya. Jika punya teman non-Katholik, harus dihentikan agar tak berlanjut cinta.
Bergabung dengan OMK (Orang Muda Katholik), aku juga bertugas menghias altar, membersihkan alat-alat misa dan tugas liturgi lainnya. Beruntung aku dapat pacar karyawan gereja, jadi selama pacaran aku juga ikut bertugas mengajar agama, mendampingi katekumin, juga bakti sosial gereja. Kebiasaan ini menjadi terbawa hingga aku menikah.
Belum anakku berumur dua tahun, aku sudah ditunjuk menjadi ketua wilayah (pada saat itu belum ada lingkungan) di Paroki Banteng tahun 1970. Ini kujalani dengan senang-senang saja karena banyak frater dari seminari yang membantukku. Kebiasaanku sebagai pelatih koor, mengajar agama, dirigen, dan lektor membuatku hidup penuh semangat mengabdi Tuhan. Namun keinginan menjadi prodiakon tidak terpenuhi karena tidak diperbolehkan oleh suami meskipun aku ditunjuk oleh pastur.
Bekerja sebagai PNS di lingkup pemerintah kabupaten, aku banyak mengalami kesulitan. Puji Tuhan, aku ditugaskan di bagian kesra urusan agama, sehingga dengan keberanian yang ada, aku mencoba membuat aturan yang sama untuk semua agama, misalnya bantuan-bantuan tempat ibadah, itu bisa disalurkan ke gereja juga izin bangunan tempat ibadah. Sebagai karyawan-karyawati yang minoritas kristiani, aku dan teman-teman selalu bersemangat, bertekad kuat dalam melaksanakan tugas-tugas yang selalu mendapat hambatan, terlebih-lebih dalam mencapai jabatan atau pangkat.
Dalam merayakan hari-hari besar secara bersama, mengundang para pejabat. Mengadakan pembinaan rohani dengan misa setiap bulan. Banyak berbaur dengan masyarakat yang berbeda agama, juga menambah kuat iman percaya kepada Yesus.
Setelah 25 tahun mengabdi sebagai pegawai pemerintah, aku pension. Aku sekeluarga pindah ke Babadan tahun 2000. Gereja masih dibangun dengan tembok yang berdiri megah dan tinggi, sementara misa diadakan di rumah umat. Tuhan ternyata masih memberikan aku kesempatan untuk ikut berkiprah dalam panitia pembangunan gereja. Segenap kekuatan dan kemampuan yang masih ada, kucoba untuk menggali dana dan sumbangan kepada rekan-rekanku pejabat dulu dan juga kepada pemerintah, sehingga mampu menyelesaikan pemasangan atap dan eternit.
Di lingkungan aku mampu merubah pola yang ada, yang semula hanya sekedar ibadat sabda, menjadi banyak kegiatan yang mendukung iman umat. Dan bersama paguyuban pensiunan, ikut membina kehidupan para lansia. Mengikuti devosi kepada Bunda Maria pada kelompok Legio Mariae dan berdoa bersama dengan pastor paroki di Paguyuban Woro Semedi.
Usiaku kini sudah 64 tahun. Rasa-rasanya aku terus hidup menggereja, sejak dibaptis sampai menjadi tua. Apakah keterlibatanku terus menerus dalam hidup mengggereja itu sebagai silih atas tidak tercapainya cita-citaku menjadi suster? Rasanya tidak. Hidup menggereja sampai tua adalah kewajiban bagi setiap orang.***