Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Manuk Emprit:
Ingin dekat Tuhan, Kurangi Makan, Minum, dan Tidur

      ”Gusti kuwi ora dhahar, ora ngunjuk, ora sare. Yen arep cedhak Gusti, sing telu kuwi disuda.” Itulah pesan kakeknya yang selalu diingatnya. Artinya kurang lebih: Tuhan itu tidak makan, tidak minum, tidak tidur. Kalau ingin dekat Tuhan, kurangi makan, minum, dan tidur. Intinya, menahan diri terhadap hal duniawi.
      Pesan itu dilaksanakannya. Di usianya yang 65 tahun, Manuk Emprit (julukan dari rekan sekantor ketika belum pensiun, dan meninta agar julukan itu saja yang disebut sebagai identitas dirinya dalam kisah ini - pen) tetap puasa sekuatnya, walau tidak lagi diwajibkan. Sebelumnya, sesuai ajaran Gereja, ia hanya sekali makan kenyang selama empat puluh hari masa puasa.

      Pernah ia berjalan tiga hari tiga malam tanpa bekal menempuh jaran sekitar 30 km. Selama perjalanan, ia hanya makan dan minum apabila ada yang bisa dimakan atau diminum ditemukan di jalan, atau dari pemberian orang berbaik hati.

Kuburan Dilabur Putih 
     Suatu saat, ia ditanya rekan sekantornya apa yang diinginkan dalam hidup. Dengan mengibaratkan diri seperti manuk emprit yang tulangnya kecil, ia menjawab tidak mempunyai keinginan muluk-muluk karena menyadari kemampuannya terbatas. Sejak itu, sebutan Si Manuk Emprit melekat padanya, sebagai cermin sikapnya yang rendah hati.
     Sikap rendah hati tumbuh dari penghayatan iman bahwa hidup dan apapun miliknya, adalah pemberian dari-Nya. Ada ayat Kitab Kejadian yang selalu diingatnya, yang menyadarkannya bahwa hidup yang dijalaninya adalah pemberian Tuhan: ……… menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. (bdk. Kej 2:7)
      Penghayatan iman itu membuatnya selalu bersyukur kepada-Nya. Merenungkan perjalanan hidupnya, dia mengakui: “Tuhan mengasihi saya luar biasa betul.” Sebagai perwujudan ungkapan syukurnya pada Tuhan, ia berbuat baik pada siapapun, selalu menyapa ramah dan mudah menolong orang lain. Baginya perbuatan baik adalah kewajiban karena itu adalah ajaran Kristus, dan filosofi Jawapun juga mengajarkannya, “Nek kowe ora gelem dijiwit, aja njiwit wong liya.
      Semua itu dilakukannya tanpa menonjolkan diri. Tidak ada yang tidak mengetahui, bahwa ia membayar uang sekolah sejumlah siswa SLTA setiap bulan. Ia memang berpesan, sang anak dan orang lain tidak boleh tahu siapa yang membayar uang sekolah tersebut.
     Namun, setelah berbuat baik, dia justru menerima kebaikan jauh lebih besar. Sambil tertawa ia mengatakan, dirinya kadang merasa seolah berbuat baik untuk memperoleh kebaikan yang jauh lebih besar dari Tuhan.
     Terkait dengan hal tersebut, ia ingat kutipan dari Injil Matius tentang perumpamaan orang seperti kuburan yang luarnya dilabur putih tapi di dalamnya penuh tulang belulang (bdk. Mat 23:27). Dia merasa dirinyalah yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan itu.

Tidak Terceraikan
      Dibesarkan dalam keluarga muslim, ia dibaptis Katolik dalam usia 23 tahun. Saat balita, ayah ibunya bercerai. Selama delapan tahun sempat diasuh ibunya di rumah kakeknya di Magelang, sampai lulus SD. Setelah itu, ia dijemput ayahnya dan disekolahkan ke SMP Pangudi Luhur di Klaten. Kemudian ia melanjutkan di SMA negeri, juga Klaten. Begitu lulus, ia langsung bekerja di Perum Bulog Jakarta.
      Salah satu pamannya yang tinggal di sebuah desa paling utara lereng Merapi di utara Deles, sebenarnya adalah katekis salah satu Paroki Boyolali. Namun, ajaran Katolik justru ia kenal semasa belajar di SMP Pangudi Luhur, Klaten.  Trauma oleh perceraian orangtuanya, ajaran Katolik yang membuatnya tertarik adalah perkawinan tidak terceraikan oleh siapapun. Tapi ini jadi bumerang, tuturnya tertawa. Sebab, ingatannya pada ajaran itu membuatnya selalu menjaga jarak saat menaruh hati terhadap perempuan yang dikenalnya, namun tidak seiman. Sambil tertawa ia mengatakan: “Ya, cukup menjadi pengagum saja.”
     Ketertarikan itu membuatnya selalu mencantumkan agamanya adalah Katolik pada KTP atau ijazah, meski baru dibaptis bersama keluarga besar kakek dan ayahnya tahun 1973.

Menemui Sendiri 
      Ia bersyukur karena Tuhan memberinya jodoh sebaik istrinya. Kenangan indah dengan ibu anak-anaknya ini yang membuatnya hingga kini tak bisa melupakan kebaikan istrinya, yang dikenangnya sebagai orang yang penuh kasih. Dari istrinyalah, yang ia banyak memperoleh pemahaman akan arti ajaran kasih, dan bagaimana mempratikkannya dalam hidup.
      Biduk rumah tangga dibangun pada tahun 1983. Ia mengenal calon istrinya, Katolik, berkat bantuan saudaranya. Sebenarnya, saudaranya sudah siap mengatur pertemuan antara dirinya dengan calon istrinya itu. Namun ia bersikeras menemuinya sendiri di Pasar Gede Solo, sebab calon istrinya itu membantu orangtuanya berdagang di pasar tersebut. “Jumat malam saya naik kereta dari Jakarta, tiba Sabtu pagi di Klaten. Setelah istirahat, mandi, dan makan pagi, saya segera ke Solo.”
      Setelah menikah, mereka menetap di rumah dinas Perum Bulog di Pos Pengumben di perbatasan Jakarta Barat-Jakarta Selatan. Di perumahan itu, dari sekitar 70 keluarga, hanya keluarganya sendiri yang Katolik. Hubungan dengan tetangga baik-baik saja, meski di rumahnya sering diselenggarakan pertemuan umat Katolik, terutama setelah ia terpilih menjadi ketua lingkungan.
      Dikaruniai 3 orang putra, Nandi, Boni, dan Adit, ketiga anaknya belajar di sekolah katolik dari SD hingga SMA. Dia berharap setidaknya ketiga iman anaknya terpelihara, meski biaya pendidikan menjadi mahal karena ketiga putranya tinggal di asrama.
      Menjelang pensiun, tahun 2003 dia membeli tanah di Paingan dan membangun rumah di atas tanah itu. Menetap di Paingan menjadi pilihan, setelah upaya membeli tanah di desa asalnya di Klaten gagal.
      Sejak tahun 2006 mereka menempati rumah di Paingan dan berbarengan itu, istrinya mulai didiagnosis mengidap kanker. Ajal menjemput istrinya pada tahun 2009. Penyesalan yang tak kunjung habis diungkapkannya dengan mata berkaca-kaca, adalah karena tak berhasil memberi pengertian agar istri berobat dengan terapi kemo atau operasi.
      Meski ber alasan dirinya tuek, elek, pendek, nyelelek, tetap saja umat dengan suara terbanyak memilihnya menjadi prodiakon sejak 2013. Tak bisa mengelak, karena dia dihadapkan pada dua pilihan: menjadi ketua lingkungan atau prodiakon. Pilihannya adalah menjadi prodiakon, sebab di Jakarta ia sudah pernah menjadi ketua lingkungan.

Sembuh di Sendangsono 
     Sekarang, setelah ketiga anaknya lulus kuliah dan telah bekerja, tidak banyak lagi yang harus dilakukannya. Terbiasa menahan diri, tidak banyak yang dibutuhkannya.
      Meski demikian, ia rutin berziarah ke Sendangsono, yang, belakangan ini menjadi tempat ziarah favoritnya. Sebelumnya, ia sering berziarah ke berbagai tempat di mana Goa Maria ada.
     Ada dua alasan mengapa Sendangsono menjadi tempat kesukaanya. Pertama, jalan salib di Sendangsono cukup panjang jika dimulai dari Gereja Promasan. Ia lebih menyukai jalan Salib yang berat dan panjang, sehingga dapat menghayati penderitaan Yesus ketika memikul salib menuju Golgota.
     Alasan kedua, suatu saat, sehabis kerja bakti, sekujur tubuhnya pegal luar biasa. Dua hari tidak hilang-hilang. Ia tidak pernah mengalami hal semacam itu. Biasanya, kalau merasa tidak enak badan, ia cukup mensugesti diri supaya tubuhnya bertahan, jangan sampai sakit, disertai istirahat yang cukup. Terapi itu tak mempan.
     Tiba-tiba ia mendengar ada bisikan, menyuruhnya pergi ke Sendangsono untuk berdoa dan jalan salib di sana apabila ingin sembuh. Bisikan itu ia turuti. Ia pergi ke Sendangsono, berjalan salib dan berdoa. Dan ia memperoleh kesembuhan. Sejak itu, paling tidak dua kali sebulan ia ke Sendangsono hingga sekarang.***