Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Filipus Dimas Darumurti (1):
Katekis Muda Melawan Arus



Rambutnya ikal, berkulit gelap, berkacamata, tubuhnya agak gemuk. Suaranya yang berat terdengar agak lantang saat menyampaikan materi bahasan kepada calon penerima Sakramen Penguatan di sayap utara Geraja St. Petrus & Paulus Babadan. 
    Tidak sedikit pun ia merasa terganggu ketika beberapa umat yang sedang melintas sesekali menoleh ke arahnya, seolah bertanya sejak kapan anak muda itu menjadi katekis.  Filipus Dimas Darumurti yang baru berusia 23 tahun, memang jauh lebih muda dibanding 10 katekis lain yang juga ikut mempersiapkan calon penerima Sakramen Penguatan.   Semua katekis itu sudah berumur 50 tahun ke atas.
       Dimas sudah siap menghadapi pandangan bertanya-tanya atas
kemampuannya sebagai katekis. Sejak mengikuti pelatihan calon katekis di Muntilan, ia sudah diwanti-wanti kelak ketika mengajar akan dipandang sebelah mata. Hal itu memang dirasakannya dan terlebih ketika berhadapan dengan katekumen yang usianya lebih tua darinya.
   Namun ia tidak merasa terganggu.  Ia senang berhubungan dengan orang lain, senang mengajar.  Menjadi katekis dihadapan 84 calon penerima Sakramen Penguatan bukan sesuatu yang asing baginya. Ia sendiri saat ini berprofesi sebagai pengajar Sejarah di Kolese de Brito Yogyakarta, sebagai guru paling muda.
    Tidak pernah terpikir olehnya menjadi katekis.  Tahun 2009, Keuskupan Agung Semarang membuka kursus calon katekis yang diselenggarakan di Muntilan.  Kursus ini terbuka bagi calon katekis dari seluruh paroki KAS.  Saat itu, Dimas menjabat Ketua OMK di Gereja Babadan dan oleh pengurus gereja diminta agar ada OMK yang ikut kursus tersebut.
    Kesempatan itu kurang diminati OMK.  Akhirnya Dimas, bersama dua utusan dari Gereja Babadan, mendaftarkan diri menjadi calon katekis.  Jadilah ia sekali tiga bulan dalam setahun, setiap Sabtu siang berangkat ke Muntilan, mengkuti kursus calon katekis, dan pulang ke rumah Minggu siang.  Kursus berlangsung dalam 12 kali pertemuan.  Tahun 2012 ia menerima sertifikat sebagai katekis.
    Begitu selesai kursus, ia langsung dilibatkan sebagai katekis di Gereja Babadan.  Sejak 2012 hingga sekarang, ia turut mempersiapakan  baptisan bayi maupun dewasa, mempersiapan calon penerima komuni pertama, dan mempersiapkan calon penerima Sakramen Penguatan. Meski saat mulai menjadi katekis ia masih kuliah, hal itu tidak menjadi beban.  Toh kegiatan menjadi katekis hanya sekali seminggu usai misa. Waktunya juga hanya sekitar 45 menit.
      Tidak banyak kesulitan yang ia hadapi saat menyampaikan materi bahasan.  Sesekali memang  ia harus mempersiapkan diri lebih baik agar mempunyai bekal pemahaman yang lebih mendalam, terutama saat menghadapi katekumen yang sering mengajukan pertanyaan mendasar. Itu dialaminya saat mempersiapkan baptisan dewasa, dan juga saat berhadapan dengan calon penerima Sakramen Penguatan yang pesertanya sangat beragam, mulai dari siswa SMP hingga orang dewasa.  Ia masih ingat salah satu pertanyaan yang diajukan katekumen dewasa:  "Yesus disalib sampai mati, kok bisa menebus dosa?"
      Jika jawaban yang ia berikan atas pertanyaan semacam itu ia rasakan belum cukup memuaskan penanya, ia akan membahasnya dengan katekis yang lebih senior. Atau pada kesempatan lain, hal itu dikemukakannya dalam rapat bidang pewartaaan.   Tujuannya, agar ia  mendapat masukan, lalu mendatangi si penanya pada kesempatan lain untuk memberi jawaban yang lebih memuaskan.
     Kendala lain adalah kurangnya peranserta aktif dari peserta.  Menurut pengamatannya, hal ini terutama terjadi di kalangan peserta calon penerima Sakramen Penguatan. Di satu sisi usia mereka sangat beragam. Di sisi lain jumlah peserta begitu banyak, 84 orang.  Dengan jumlah sebanyak itu, apalagi kursus persiapan diselenggarakan di sayap gereja yang setengah terbuka dan menjadi kelas darurat karena Panti Paroki belum selesai dibangun,  tidak mudah mengajak mereka untuk memusatkan perhatian terhadap materi bahasan yang sedang disampaikan katekis.
     Menurut Dimas, dengan kondisi itu, perhatian kebanyakan peserta akan semakin kecil manakala katekis menyampaikan materi bahasan dengan metode mengajar searah. Sebagai anak muda, ia paham betul cara mengajar searah kurang disukai peserta, cenderung membuat mereka sibuk berbisik-bisik membicarakan hal lain. Jika ini yang terjadi, bukan tidak mungkin kebanyakan peserta hanya mengejar formalitas, yang penting di akhir kursus menerima Sakramen Penguatan.
      Maka, untuk meningkatkan peranserta peserta, saat bertugas Dimas memberi kesempatan sharing. Tapi ini tidak mudah. Sering timbul kendala saat salah satu peserta calon penerima Sakramen Penguatan diminta untuk sharing di depan 80 orang lebih. Mungkin ada rasa tidak percaya diri jika harus sharing di hadapan orang sebanyak itu. Jalan keluarnya, ia membagi mengelompokkan peserta, satu kelompok 5 - 7 orang.  Kelompok kecil lebih kondusif untuk sharing dibanding kelompok besar.
      Tidak mudah seorang diri mengelola sekian banyak kelompok.  Namun itu harus ia lakukan, supaya peserta bisa semakin berperan aktif dan tidak hanya mengejar formalitas.  Dalam konteks, ia melihat perlu semakin banyak katekis muda, yang dipersiapkan dengan baik dan dibekali dengan berbagai metoda. Tapi, orang muda mana yang mau jadi katekis?  Dimas hanyalah salah seorang yang melawan arus. (PronP/MEttyTriP - Bersambung)***