Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Christiana Ena Sri Maryani (1):
Agar Hidup Ada Arti Bagi Orang Lain

Berkunjung ke rumah Bu Kamto, di Koroulon, di tepi jalan Cangkringan-Kalasan yang sibuk oleh lalu lalang truk pengangkut pasir, serasa berkunjung ke rumah saudara sendiri. Sapaan hangat penuh keramahan selalu menyambut siapa saja berkunjung ke rumahnya.

     Kehangatan dan keramahan sikapnya itulah yang menyebabkan rumahnya sering dirujuk menjadi tempat tinggal sementara bagi mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas KKN, PKL, atau penelitian. Tidak hanya itu. Bu Kamto, juga menyediakan waktu mengasuh tidak anak, Agus, Lia dan Krisna.  Agus tinggal di rumahnya sejak SMP dan sekarang telah mandiri. Sedang Lia sewaktu masih kecil, hanya diasuh Bu Kamto siang hari ketika orangtua mereka pergi bekerja.
     Baik mahasiswa, maupun anak yang diasuhnya, termasuk sekarang anak-anak balita yang sekarang menjadikan rumahnya menjadi semacam tempat bermain, diperlakukan tak ubahnya sebagai anggota keluarga sendiri.
     Rasa bahagia menyeruak apabila di antara “anak-anaknya” masih mengingatnya dengan berkabar sesekali ataupun mengundangnya dalam pesta pernikahan. Di saat seperti itulah ia merasakan bahwa hidup yang dijalani ada arti bagi orang lain.

Tambah Saudara 
     Rasa bahagia semacam itu pulalah yang dirasakannya sewaktu ada saja warga Cangkringan yang menyapanya pada berbagai kesempatan. Mereka menyapa dengan hangat, bagaikan saudara sendiri.
     Bagi Bu Kamto, sebagaimana ia alami, kehangatan orang lain terhadapnya dimaknai sebagai buah dari sikapnya kepada mereka. Meski demikian, ia menegaskan sikapnya yang ramah dan kesediaanya berbuat baik bagi terhadap orang lain sama sekali tidak disertai pamrih apa pun. Ia melakukannya dengan tulus.
     Sambil tertawa, ia menceritakan contoh. Suatu saat, seorang ibu berusia 60-an terkaget-kaget saat berjumpa pertama kali begitu mengetahui bahwa Bu Kamto adalah pemilik sawah dari mana ibu itu selalu mengambil jerami untuk dijadikan makanan sapinya.
     Ibu itu tidak pernah ketemu langsung dengan Bu Kamto. Jadi yang diketahuinya, Bu Kamto hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Setelah permintaanya disampaikan kepada Bu Kamto lewat seseorang, ia diperbolehkan mengambil jerami itu.
     Kekagetan ibu tersebut semakin menjadi-jadi sewaktu diketahui bahwa di Cangkringan Bu Kamto juga disebut Bu Erna. Jadi, Bu Kamto adalah Bu Erna yang sudah kondang namanya karena aktif menyalurkan bantuan kepada para pengungsi termasuk dirinya, aktif mengajak para pengungsi mengikut program pemberdayaan hingga sekarang.
     Tidaklah menjadi masalah bagi Bu Kamto bahwa orang bisa terheran-heran seperti ibu itu. Dirinya melakukan sesuatu bukan untuk dikenal. Bahkan, ketika namanya entah oleh siapa dan kapan berubah dari Ena menjadi Erna sehingga dia dipanggil Bu Erna, juga bukan masalah. Ada hal lebih penting daripada sekedar dikenal, yaitu tambah saudara.

Hidup benar 
     Nama lengkapnya Christiana Ena Sri Maryani. Lahir 22 Juni 1968 di Dusun Banjarejo, Cangkringan, dari pasangan MC Mursiyati dan FX Suradi, ia adalah anak ke-4 dari 6 bersaudara.
      Sejak kecil, Bu Kamto menuturkan, kedua orangtuanya selalu mendorong dirinya dan saudara-saudaranya untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan menggereja. Mereka diajak mengikuti berbagai kegiatan, baik di kampung maupun kegiatan pertemuan doa di lingkungan atau di gereja.
      Ajakan keduanya orangtuanya untuk memasuki kehidupan bermasyarakat dan kehidupan menggereja memberi kesadaran baru bagi Bu Kamto. Kesadaran itu antara lain berperan membentuk sikap hangat dan baik terhadap siapa saja. Menurut pengakuannya, sikap itu muncul sebagai ungkapan syukur atas karunia-Nya terhadap dirinya, terhadap keluarganya. Itu mulai disadarinya sejak kecil. Ketika itu, kehidupan masyarakat sedang menghadapi masa sulit.
     Di tengah keadaan itu, ia merasa beruntung. Meski ayahnya sudah pensiun sedangkan uang pensiunannya tidak seberapa, namun keluarganya tertolong karena ibunya membuka warung untuk menambah penghasilan keluarga. Itu membuatnya bersyukur, yang diungkapkannya dengan berbuat baik terhadap siapapun.
     Ada lagi yang mendorongnya bersikap ramah dan mau berbuat baik terhadap setiap orang. Suatu sikap hidup yang dianggapnya merupakan pilihan untuk mendekati keinginan ibunya. Ia sering menyaksikan, ibunya selalu menjalani laku prihatin.
     Ibunya memang rajin berdoa, rajin ke gereja, rajin mengikuti pertemuan doa lingkungan. Namun bukan itu yang menarik perhiannya, melainkan  ketekunan ibunya melaksanakan mati raga (puasa). Suatu saat ia bertanya, mengapa ibunya senantiasa teguh menjalani laku prihatin itu. Ibunya menjawab: “Sesuk ben anak-anakku uripe bener.” (Besok biar anak-anakku hidupnya benar).
     Jawaban itu tidak memuaskannya. Jawaban itu menyisakan pertanyaan: Seperti apakah hidup dengan benar itu? Apakah menjadi hidup dengan benar itu adalah rajin berdoa, aktif dalam kehidupan menggereja untuk melayani sesama, semisal dengan menjadi prodiakon? Namun pertanyaan itu hanya ia simpan di benaknya.
     Belakangan, ditengah kesibukannya menyalurkan bantuan bagi para pengungsi Merapi, pertanyaan itu mendapat jawaban. (Bersambung – MettyTriP/PRonP)***