Pengantar: Bulan
Juni lalu, dilaksanakan survei tentang kinerja lektor. Hasil survei
tersebut telah dimuat 5 Juli 2013, namun hanya berupa angka. Pemaknaan
hasil survei melalui narasi, yang ditulis oleh Y Surya Hamijaya dari Tim Kerja Litbang, baru bisa disajikan saat ini. Tulisan ini diharapkan membantu pemahaman tentang persepsi umat akan hakikat lektor, kitab suci dan sabda yang dibaca secara lebih mendalam
dan bermakna.
Lektor adalah “mediator” antara Tuhan dengan umat melalui sabda kitab suci yang dibaca. Tentu ini pada tataran penangkapan, pemaknaan, penghayatan dan “penancapan” esensi sabda di dalam lubuk hati dan kesadaran umat.
Lektor adalah “mediator” antara Tuhan dengan umat melalui sabda kitab suci yang dibaca. Tentu ini pada tataran penangkapan, pemaknaan, penghayatan dan “penancapan” esensi sabda di dalam lubuk hati dan kesadaran umat.
Sejauh mana esensi sabda itu sungguh sampai ke lubuh hati dan kesadaran umat, hanya umat yang bisa menjawabnya. Survei kinerja lektor di Gereja St. Petrus & Paulus, ingin memperoleh jawaban tersebut. dan hasilnya sebagai berikut:
Berdasarkan hasil
survei di atas, kemampuan lektor menurut para responden yang mengembalikan
penilaian mereka didominasi oleh penilaian bahwa “sebagian besar” lektor
memiliki kemampuan (36%). Namun bila angka terbesar ini dinilai dengan standar
absolut (50% plus 1) maka lektor yang dinilai memiliki kemampuan masih kurang
dari separuh, atau lebih sedikit dari kisaran sepertiga. Tentu angka ini masih
perlu ditingkatkan, mengingat peran lektor dalam menyampaikan pesan kitab suci
sangat sentral. lektor dengan kemampuan yang baik akan menarik atensi umat
dalam mendengarkan dan memahami isi kitab suci yang dibaca. Oleh karena itu,
hal ini bisa menjadi masukan bagi Tim Kerja terkait agar melakukan pelatihan
menjadi lektor yang baik, di samping kesungguhan berlatih para lektor, sehingga
dalam survei di masa datang, hasil penilaian mengenai jumlah lektor yang
memiliki kemampuan akan meningkat angka yang diraih, paling tidak lebih dari
50%.
Peluang
peningkatan itu sebenarnya ada, atau bahkan secara akumulatif sudah tampak. Bila
kita mencermati hasil penilaian kemampuan pada urutan kedua, yaitu “sebagian
ya, sebagian tidak”, maka angka “sebagian besar” memiliki kemampuan di atas
(36%) sebenarnya sangat potensial memiliki penambahan jumlah prosentase. Anggap
saja dari angka 28% di atas mengandung pengandaian bahwa separuh (14%) memiliki
kemampuan dan separuh yang lain (14%) belum memiliki kemampuan memadai, maka
angka 14% ini akan cukup memberi penambahan angka pada jumlah lektor yang
dinilai mampu di atas menjadi 50% (36% + 14%). Maka dengan angka ini, kita
mendapatkan gambaran kemampuan lektor yang cukup menggembirakan, yaitu 50% atau
separuh.
Bila angka
optimistis ini ditambah dengan penilaian bahwa Lektor telah “semua mampu” (14%)
maka angka 50% di atas akan meningkat menjadi 64% (50% + 14%). Ini berarti
lebih dari 2/3 jumlah lektor telah dinilai mampu.
Angka di atas
akan kian menggembirakan bila kita baca dengan nada optimistis, yaitu ditambah
dengan penilaian bahwa “sebagian kecil” lektor telah mampu, yaitu 11%. Akumulasi
akhir dari semua angka optimistis ini akan berubah menjadi 75% (64% + 11%). Ini
artinya sebagian besar lektor (75%) dinilai oleh umat telah mampu memerankan
tugasnya dengan baik.
Bila kita
membaca dari sudut pandang sebaliknya, maka angka penilaian negatif hanya
berasal dari penilaian-penilaian berikut ini. Pertama, “semua tidak mampu”: 1%.
Kedua, “...sebagian tidak”: 14% (dengan mengambil angka tengah atau sepauh).
Total dari penilaian negatif yang bisa ditafsirkan ini berada pada angka 15%.
Sedangkan mereka yang tidak menyatakan penilaian, mampu
atau tidak, mencapai 10%. Angka ini merupakan hasil penjumlahan dari penilaian:
(1) “tidak sah”: 5%; (2) “tidak berpendapat”: 1%; dan (3) “syukur ada lektor”:
4%.
Secara demikian,
secara akumulatif, kita dapat menafsirkan bahwa 75% umat yang berpartisipasi
dalam survei menilai bahwa para lektor telah mampu “mengemban” tugas mereka.
Hanya 15 % yang menilai para Lektor tidak memiliki kemampuan. Dan 10% lainnya
tidak memberikan penilaian. Bila angka 10% ini dianggap tidak memberikan
penilaian, maka total pemberi penilaian hanya 90%. Ini berarti dari 90% umat
yang bersedia menilai ternyata 75% di antara mereka menilai bahwa para lektor
telah mampu melaksanakan tugas mereka. Angka ini kiranya cukup menggembirakan. Proficiat untuk para lektor.
Di balik angka
itu kita dapat menafsirkan bahwa pesan kitab suci telah disampaikan secara (1)
jelas (intonasi, ritme dan aksentuasi), (2) mudah dimengerti dan dipahami
isinya, dan diharapkan (3) bisa meresap di dalam hati (dihayati), serta (4)
akan “menancap” dalam ingatan dan kesadaran umat, sehingga pada akhirnya sabda
kitab suci dapat menjadi tuntunan dalam menapaki, menafsirkan, menghayati dan
merefleksikan kehidupan yang dialami, baik secara personal, dalam keluarga, bertetangga,
pekerjaan dan bermasyarakat. Melalui pemahaman dan penghayatan demikian, kitab
suci menjadi “sungguh hidup” melalui para umat yang melaksanakan dan menghayati
palaksanaan sabda itu. Inilah yang mungkin dapat ditafsirkan sebagai aplikasi
dari sebagian kata-kata doa Bapa Kami: “datanglah
kerajaanMu, jadilah kehendakMu, di atas bumi, seperti di dalam surga”.
Melalui praksis
kehidupan keimanan yang diresapi sabda kitab suci inilah maka “perutusan” yang
disampaikan Romo di akhir misa lantas menjadi sungguh mewujud di dalam
kehidupan riil. Inilah “sabda yang hidup” melalui kesaksian dan pewartaan para
kiprah umat. Pada hidup yang dinafasi oleh sabda kitab suci inilah kita dapat
menafsirkan telah terjadi “bersatunya manusia dan Tuhan” atau “manunggaling kawula lan Gusti,” manusia
berperan melalui menangkap, memahami, menghayati, mengaplikasikan, serta
merefleksikan kehidupan dengan pesan sabda Ilahi, sedangkan Gusti atau Tuhan
hadir melalui sabda. Sabda Tuhan menjadi “daya hidup” yang menghidupi relasi manusia
dengan sesama dan semesta serta relasi manusia dengan Tuhan.
Dengan tuntunan
sabda itulah maka sesungguhnya umat juga bisa menjadi orang baik yang jauh dari
kejahatan. Inilah yang juga dikatakan di dalam doa Bapa Kami: “... dan bebaskanlah kami dari yang jahat.”
Kejahatan dapat berasal dari dalam diri dengan aneka energi negatif yang
bersarang dalam diri (“Panji Setan”). Sehingga untuk mengatasinya, kita perlu
untuk merengkuh, melakukan dan menghayati sabda Tuhan (“Panji Kristus”) melalui
kitab suci. Dengan demikian kita dapat menghindarkan diri dari aneka dorongan,
gejolak, ketidakteraturan internal diri kita. Gerak-gerik batin dalam aneka
ketidakteraturan dapat dirasakan, dipilah dan dipilih yang selaras dengan
kehendak Ilahi. Pada titik inilah refleksi, meditasi dan kontemplasi menjadi
sarana penjernihan diri dalam hidup “ramai” di dalam keluarga dan masyarakat.
Inilah “contemplation in actio”, atau
“ mati dalam kehidupan dan hidup dalam kematian” (“mati sajroning urip lan urip sajroning pati”). Kita lantas hidup
melalui dan digerakkan oleh roh. Hidup badani dinafasi oleh hidup rohani.
Bila sudah
demikian halnya, maka semoga Tuhan menolong kita terbebas dari kejahatan yang
berasal dari luar diri. Ini yang juga dapat ditafsirkan dari frase yang sama “...dan bebaskanlah kami dari yang jahat”.
Mencermati
penafsiran demikian, yang tentu saja masih bersifat hipotetis, maka kita dapat
menilai betapa pentingnya tugas lektor dalam membacakan kitab suci. Dalam diri lektor terdapat tugas maha penting: membaca, menyampaikan, menanamkan sabda Tuhan
di dalam hati umat. Ini selaras dengan apa yang diucapkan bersama dalam misa:
“Tanamkanlah SabdaMu ya Tuhan...dalam hati kami...”. Melalui tugasnya lektor
berperan serta dalam “menghadirkan” Tuhan melalui sabda kitab suci, sebagaimana
frase doa Bapa Kami ini: “datanglah
KerajaanMu, jadilah KehendakMu, di atas bumi, seperti di dalam surga.”
Maka
menjadi lektor sesungguhnya bukan hanya membaca dengan indah dan menarik,
melainkan juga menghayati bagaimana menyediakan diri sebagai lantaran kehadiran
Tuhan melalui sabda kitab suci yang dibaca dengan seluruh totalitas dan
penghayatan batin terdalam dengan seluruh upaya refleksi hidup di dalamnya.
Secara demikian, mungkin “getar nada dan makna” akan “merayap pelan” menembus ke
dalam sanubari umat yang hadir. Lektor adalah “mediator” antara Tuhan dengan
umat melalui sabda kitab suci yang dibaca. Tentu ini pada tataran penangkapan,
pemaknaan, penghayatan dan “penancapan” esensi sabda di dalam lubuk hati dan
kesadaran umat. Ini tidak berarti “menuhankan kitab suci”, tetapi mencoba
memahami hakikat lektor, kitab suci dan sabda yang dibaca secara lebih mendalam
dan bermakna.
Untuk meraih
kemajuan di masa datang, tantangannya adalah bagaimana para lektor berlatih dan
melaksanakan tugasnya lebih baik agar pilihan jawaban (1) “semua mampu” dan (2)
“sebagian besar...” memperoleh hasil penilaian lebih baik. Tentu saja akan luar
biasa menggembirakan andaikata 75% umat menilai lektor “semua mampu”, bukan
hanya 14% seperti hasil survei di atas. Atau sekurang-kurangnya, kombinasi
kedua pilihan di atas (“semua mampu” dan “sebagian besar...”) bisa mencapai
angka 75%. Secara demikian, tugas perbaikan masih melekat pada diri para lektor. Tim Kerja terkait kiranya akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan
ini.
Selanjutnya adalah tanggapan responden atas penyebab kinerja letkor kurang optimal.
Dari hasil di atas, tampak memang bahwa sound system menjadi kendala yang paling banyak dipilih sebagai penyebab kinerja lektor kurang optimal. Jadi, apa yang disampaikan tertulis oleh salah satu umat itu, juga dirasakan umat lain.
Selanjutnya adalah tanggapan responden atas penyebab kinerja letkor kurang optimal.
Dari hasil di atas, tampak memang bahwa sound system menjadi kendala yang paling banyak dipilih sebagai penyebab kinerja lektor kurang optimal. Jadi, apa yang disampaikan tertulis oleh salah satu umat itu, juga dirasakan umat lain.
Apa yang bisa ditafsirkan dari data survei di atas? Terkait dengan
kekurangan para Lektor dalam melaksanakan tugas, beberapa penyebab dalam tabel
di atas dapat dijadikan indikator penilai. Beranjak dari data di dalam tabel,
bila diurutkan, kekurangan itu disebabkan oleh: (1) sound system (43%);
intonasi (34 %); (3) artikulasi (26%); (4) tempo (22%); dan (5) volume
(16%). Dari seluruh responden, 11 % di
antaranya tidak memberikan jawaban.
Bila kita cermati, faktor alat yang dinilai terbesar sebagai penyumbang kekurangan itu, yaitu sound system (43%). Selebihnya, faktor pelaku, yaitu para Lektor, menjadi penentu kedua. Meskipun demikian, akumulasi faktor-faktor yang ditentukan oleh lektor sesungguhnya lebih besar daripada faktor oleh alat (sound system), yaitu intonasi (34%), artikulasi (26%) dan tempo (22%), yang secara keseluruhan berjumlah 77%. Ada penyebab yang sebenarnya dapat dipengaruhi oleh orang dan alat, yaitu volume (16%), Seandanya faktor volume ini kita bagi rata, menjadi 8% untuk alat dan 8% untuk orang maka, secara diametral faktor alat menentukan sebanyak 8 % + 43% = 51%, sedangkan faktor manusia berpengaruh sebanyak 77% +8% = 85%. Antara faktor alat dan manusia berselisih 34%.
Bila kita cermati, faktor alat yang dinilai terbesar sebagai penyumbang kekurangan itu, yaitu sound system (43%). Selebihnya, faktor pelaku, yaitu para Lektor, menjadi penentu kedua. Meskipun demikian, akumulasi faktor-faktor yang ditentukan oleh lektor sesungguhnya lebih besar daripada faktor oleh alat (sound system), yaitu intonasi (34%), artikulasi (26%) dan tempo (22%), yang secara keseluruhan berjumlah 77%. Ada penyebab yang sebenarnya dapat dipengaruhi oleh orang dan alat, yaitu volume (16%), Seandanya faktor volume ini kita bagi rata, menjadi 8% untuk alat dan 8% untuk orang maka, secara diametral faktor alat menentukan sebanyak 8 % + 43% = 51%, sedangkan faktor manusia berpengaruh sebanyak 77% +8% = 85%. Antara faktor alat dan manusia berselisih 34%.
Apa yang bisa kita baca dari survei berjawaban lebih dari satu di atas?
Mencermati perbandingan faktor alat dan manusia di atas maka, kualitas sound
system dan pengaturan volumenya kiranya merupakan faktor yang “lebih mudah”
untuk dibenahi. Pertama, operator kiranya perlu memastikan kualitas dan setting
sound system agar sungguh maksimal dapat mendukung kerja lektor dalam membaca
kitab suci. Kedua, operator perlu mengantisipasi berapa besar umat yang akan
hadir dalam misa. Pola kehadiran umat dalam misa, hari Sabtu dan Minggu, atau
perayaan hari besar atau pesta nama, dapat dijadikan patokan untuk mengukur
besaran volume sound system yang dibutuhkan agar suara lektor mampu menjangkau
kemampuan dengar umat di semua posisi. Cek suara di semua sudut dan posisi
tempat duduk menjadi penting untuk dilakukan. Kualitas setting dan besaran
volume sound system bisa dicatat sebagai pola baku dukungan suara oleh sound
system.
Faktor manusia yang menerima porsi lebih besar dalam menentukan kualitas
kerja lektor (85%) kiranya menjadi
perhatian berikutnya. Dengan aneka
latihan dalam hal : (1) intonasi; (2) artikulasi; (3) tempo dan (4) volume,
diharapkan kemampuan lektor akan meningkat. Karena survei ini bersifat umum,
maka kita tidak menerima informasi lektor mana yang paling baik, baik, kurang baik,
dan tidak baik. Oleh sebab itu, penilaian internal Tim Lektor-lah yang akan
mengetahui, lektor mana yang terbaik, atau lebih baik, daripada rerata
kemampuan lektor secara umum. Kemampuan lektor yang terbaik inilah yang dapat
dijadikan ukuran pencapaian kemampuan bagi lektor lain, termasuk yang masih
baru. Lektor yang dinilai paling atau lebih baik kemampuannya dapat menjadi
pendamping latihan bagi yang lain.
Secara demikian, latihan adalah media
pembelajaran bersama: sebagai pembelajar dan pengajar; berlatih dan melatih,
sehingga Gereja juga merupakan tempat untuk melakukan aktualisasi diri,
peningkatan kapasitas, berbagi pengetahuan dan kemampuan, dan menjalin
keguyuban bagi mereka yang berminat sama (dalam hal ini sebagai lektor).
Keempat poin penyumbang kekurangan lektor dalam bertugas di atas dapat menjadi
acuan dalam berlatih.
Dengan pemahaman dan penghayatan betapa sentralnya peran
lektor dalam membacakan dan menyampaikan sabda Ilahi sebagaimana paparan di
muka, maka ketika berlatih, hal ini bukan semata-mata persoalan teknis, psikis
dan fisik, malainkan ada pula persoalan penjiwaan dan spiritualitas. Ketika
berlatih membaca bacaan kitab suci tertentu, maka lektor bukan hanya
membacanya, melainkan juga memahami isi dan konteks pesan, sehingga
penghayatannya akan kian mendalam.
Dengan begitu, pendalaman kitab suci juga
praktis dilakukan oleh seorang lektor dengan suka cita, karena dengan demikian,
menjadi lektor adalah suatu anugerah, berkah, bahwa ia lebih dulu dapat
menerima sabda Ilahi, yang kemudian ketika ia membacakannya kepada umat, ia
menyampaikan berkah itu kepada sesama. Ini senada dengan penghayatan doa Rm. G
Utomo, Pr., yang tinggal di Paroki Ganjuran, yang selalu “mohon berkat agar menjadi berkat bagi siapapun dan apapun,” sebagaimana
yang disampaikan dalam homili perayaan imamatnya yang ke 50 di Geraja
Sidowayah, Klaten, belum lama berselang.