Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Merayakan Ekaristi: Dorongan Internal dan Eksternal

Pengantar:
     Bulan Mei lalu, Sabtu (25/06) dan Minggu (26/06), Tim Kerja Litbang melaksanakan survei persepsi umat tentang Ekaristi.Hasilnya telah dimuat Rabu 19 Juni 2013, meski sebatas angka. Kali ini dimuat pemaknaan atas hasil survei tersebut, yang ditulis oleh Y Surya Hamijaya.

Sekedar mengingatkan, ada dua pertanyaan yang diajukan kepada umat sebagai responden.  
    Pertanyaan pertama:


  • Menurut Anda, menghadiri Ekaristi merupakan:
  • Kerinduan
  • Kebutuhan
  • Kewajiban
  • Kepatutan
  • Tidak penting
Untuk pertanyaan tersebut, responden hanya boleh memilih satu jawaban.

      Jawaban yang diberikan adalah sebagai berikut:




Ada beberapa arti menghadiri ekaristi. Berdasarkan pilihan jawaban yang disediakan, umat yang berpartisipasi dalam survei  terbagi ke dalam 4 pilahan pendapat dalam memaknai kehadiran mereka dalam ekaristi: (1) kerinduan (39%); (2) kebutuhan (21%); (3) kewajiban (12%); dan (4) kepatutan (1%). Lembar survei yang tidak sah sebanyak 9%, tidak menjawab sebesar 18 % dan menyatakan tidak penting 0%. 
    Hasil itu menandakan bahwa sebesar 73% suara yang dapat dianalisis, karena selebihnya tidak sah dan tidak menjawab (total: 27%).

    Dari jawaban di atas, kita dapat memilahnya ke dalam 2 kategori: (1) motivasi internal; dan (2) dorongan eksternal. Kerinduan dan kebutuhan merupakan bentuk motivasi  internal (60%), sedangkan kewajiban dan kepatutan merupakan bentuk dari dorongan eksternal (13%). Bila kita analisis, bentuk motivasi internal berasal dari kesadaran dan dilandasi oleh kesukarelaan, dengan senang hati, tidak terpaksa. Sedangkan pilihan jawaban yang berada di dalam kategori dorongan eksternal merupakan tindakan yang tidak berasal dari dalam diri, yang ada nuansa keharusan sosial di mana seseorang harus mengikuti ekaristi. Bila dorongan ini hilang, maka mungkin saja yang bersangkutan tidak mengikuti ekaristi di gereja. Pada titik ini, belum ada kesaran spiritual yang menghubungkan olah batin, kehidupan riil dan ekaristi sebagai puncak ekspresi keimanan terhadap Kristus.

   Hal itu akan lebih menarik lagi bila bisa ditelusuri tentang bagaimana sikap “keterpaksaan” itu mewujud menjadi tindakan ketika mengikuti misa ekaristi khudus: apakah mereka khusyuk? Sejauh mana suasana misa dapat mentransformasikan sikap ketidakrelaan menjadi sikap positif dalam menanggapi proses dan esensi misa pada setiap tahapannya. Selanjutnya, apakah yang dibawanya pulang setelah misa usai? Kelegaan dan kedamaian dari tuntutan kepatutan dan kewajiban? Bagaimanakah olah batin kalangan umat ini selama mengikuti proses misa: artifisial (permukaan) atau substansial (mendalam, sampai pada esensi)? Masih banyak pertanyaan yang bisa kita sampaikan dalam kaitan ini.

Pertanyaan kedua: Menurut Anda, apa manfaat menghadiri Ekaristi?
  • Damai & Sukacita
  • Kepuasan batin/rohani
  • Sumber hidup
  • Refleksi hidup
  • Ketemu Sdr/i
  • Kembangkan bakat
  • Tidak bermanfaat
 Jawaban responden adalah sebagai berikut: 

                      

  Secara berurutan jawaban umat adalah (1) memperoleh rasa damai dan sukacita (57,30%), (2) memperoleh kepuasan batin/rohani, (3) ekaristi merupakan sumber hidup (27,82%), (4) melalui ekaristi dapat mereflaksikan hidup (16,53%), (5) bertemu saudara (3,86%) dan (6) bisa mengembangkan bakat (3,31%). Pada survei ini umat boleh memilih lebih dari satu jawaban.

Jawaban-jawaban itu dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, berorientasi pada aspek rohani/batiniah. Pada kategori ini, kita bisa memasukkan jawaban: (1) damai dan suka cita; (2) kepuasan batin/rohani; (3) sumber hidup; dan (4) refleksi hidup. Bila diakumulasi maka kategori ini mencapai       148,48%. Bila dirata-rata, maka setiap jawaban memperoleh memperoleh pilihan sekitar  37%. 

   Kedua, berorientasi pada aspek sosial/relasional: bertemu saudara. Kategori ini hanya memperoleh pilihan 3,86%. Dengan metode memilih lebih dari satu, maka angka capaian ini sangat rendah. Dibandingkan dengan rata-rata pilihan jawaban dalam kategori rohani (37%) maka angka ini (3, 86%) terpaut sekitar 33,14%.

  Ketiga, kategori yang berorientasi pada aspek teknis, pengembangan kapasitas, yaitu mencakup hanya 1 pilihan jawaban: mengembangkan bakat (3,31%). Perolehan angka ini juga sangat kecil dan berbeda jauh dari perolehan pada kategori rohani (148,48%), atau total prosentase pilihan umat (155,65%). Umat yang memberikan pilihan pada jawaban ini sangatlah sedikit, bahkan lebih kecil jumlahnya daripada yang memberikan jawaban untuk pilihan jawaban bertemu saudara.

   Dengan mencermati hal di atas, maka kategori aspek rohani adalah yang terbanyak (148,48%), diikuti kategori aspek sosial/relasional (3,86%) dan yang terakhir adalah aspek teknis (pengembangan kapasitas), yaitu pengembangan bakat (3,31%).

  Mencermati kebutuhan umat di atas, maka pemenuhan kebutuhan pada aspek rohani memang memerlukan porsi terbesar. Ini berarti pengolahan upacara ekaristi diharapkan dapat memberikan pemenuhan kebutuhan akan: (1) damai dan suka cita; (2) kepuasan batin/rohani; (3) sumber hidup; dan (4) refleksi hidup. Kita dapat menganalisis bersama, pada tahap ritual mana setiap kebutuhan atau manfaat yang diinginkan itu dapat diperoleh umat. Barangkali memang ada yang berada pada semua tahapan ritual, tetapi mungkin pula hal itu berada pada tahapan tertentu. Hal ini memang tidak mudah dideteksi karena atensi dan intensi setiap umat akan berbeda-beda. Namun paling tidak, para petugas liturgi dapat memahami manfaat apa yang diharapkan dapat diperoleh umat dengan mengikuti ekaristi.

    Secara demikian, ekaristi adalah titik temu sejumlah harapan manfaat bagi umat, terutama pada aspek rohani. Oleh sebab itu, setiap petugas dalam setiap misa mereka menjadi pelayan rohani umat dalam porsi dan tanggung-jawab tertentu. Ini juga cukup menggembirakan karena ekaristi dengan demikian masih dimaknai sebagai “oase” rohani, bukan pada aspek-aspek lain, di dalam konteks perkembangan dunia yang dalam kadar tertentu ditandai oleh arus sekularisme, di mana kebutuhan duniawi menjadi titik akumulasi pemuasan hidup manusia. Dalam era yang ditandai oleh arus globalisasi di mana ruang dan waktu seakan menjadi “himpit” oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di mana manusia disibukkan dan dibantu kehidupannnya oleh aneka produk teknologi (aneka gadget), sehingga seringkali mereka sibuk dengan sesamanya sendiri, dan hal ini mengambil porsi waktu yang relatif banyak, maka dengan mengikuti ekaristi, semuanya itu dideterminasi “sejenak”, untuk kembali mengolah hidup rohani. Karena pada dasarnya rohlah yang menuntun badan untuk nantinya kembali ke “hidup abadi”, dengan meninggalkan “hidup sementara” ini. Dengan mengolah rohani kita dapat menempatkan diri di dalam “Kerajaan Allah”. Maka ekaristi adalah media sakral di mana umat yang hidup dalam aneka “hiruk-pikuk” dinamika kesehariannya kembali “mereguk air hidup rohani” untuk memperoleh kedamaian dan sukacita, kepuasan batin/rohani, sumber hidup dan refleksi hidup (sebagaimana tampak dalam hasil survei).

   Melalui ekaristi mereka memperoleh kesempatan untuk menemukan arah hidup sejati. Melalui itu semua, umat diberi kesempatan untuk menata ulang kehidupannya dengan menempatkannya di bawah  kontrol “gerak rohani”. Perbuatan merupakan ekspresi kesaksian iman akan Tuhan. Karena iman adalah “tanggapan aktif manusia kepada Allah yang mengasihinya” maka aneka perbuatan dalam “hiruk-pikuk” hidup sehari-hari adalah ekspresi iman dalam berelasi dengan sesama dan semesta sebagai wujud cinta kepada Sang Pencipta dengan landasan cinta kasih, sebagaimana diajarkan Sang Guru Sejati yang pernah disalib di Golgota. Pada titik inilah, ekaristi menempati posisi sentral bagi hidup rohani umat, sebagai sekumpulan “peziarah” di tengah dunia yang kian “gaduh” dengan aneka suka dan duka yang dialami.***