Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Maria Marni:
Donga Iku Gaman (Doa itu senjata)

(2-habis)

Saat HUT ke-100
"Donga iku gaman," kata Mbah Kis. Tiada hari yang dilaluinya tanpa doa.  Dengan berdoa, dia merasa betul bagaimana Tuhan teramat menyayanginya.  Kalau  ada doa yang belum atau tidak dikabulkan, dia menyikapinya dengan berpasrah:“Karsa Dalem kalampahana (Jadilah kehendak-Mu)”. 
Setiap hari, kegiatannya diawali dan ditutup dengan doa. Di  kamarnya,  sekitar pkl. 19.00 lilin dinyalakan di samping patung Bunda Maria.  Dia lalu berdoa rosario sebelum  istirahat. Dia  percaya sepenuh hati bahwa hanya doa dan dengan doa,  maka  dia bisa menjalani hidup ini dengan ayem  tenterem, tanpa  amarah setititik pun.  Bahkan ketika ditipu orang atau dibuat susah anaknya.

Menguntai Rosario dari Ranting
Dilahirkan sebagai  anak ke 4 dari  7 bersaudara,  Mbah Kis merasa  paling  kecil  dan jelek dibanding saudara-saudarinya.  Aku diadohi merga elek,  kuru tur nyengingis (Aku dijauhi karena jelek, kurus dan suka meringis),” tuturnya  sambil  tertawa tanpa menyiratkan  rasa rendah diri.
Masa kecil   dihabiskannya  di Kulon  Progo.  Setiap hari dia lalui dengan agenda yang sama: belajar di sekolah, angon usai sekolah, bermain dengan teman sebaya atau saudara-saudaranya, atau membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ketertarikannya masuk Katolik diawali  sewaktu menjadi murid sekolah Katolik.  Teman-temannya satu sekolah kebanyakan Katolik.  Dia ingin berdoa seperti mereka. Suatu saat keinginan itu muncul begitu kuat. Ketika itu dia sedang angon.  Dari kejauhan dia melihat teman-temannya berdoa di Gereja sambil berlutut dengan untaian rosario di genggaman tangan. Terdorong keinginan bisa berdoa rosario  seperti  teman-temannya,  serta-merta dia  mematah-matahkan  ranting untuk diuntai menjadi sebuah rosario. Dia kemudian berlutut di  pematang sawah,  lalu menirukan ritual berdoa rosario yang dilakukan teman-temannya. Sejak saat itu, dia menjadi seorang pendoa yang tekun. 
Keinginannya  menjadi  Katolik sempat terhalang restu  orangtuanya. Setelah tiga kali meminta izin, barulah pada tahun  1921  dia  dibaptis. Kemudian hari dia  menjadi pemeluk Katolik yang taat.  “Harus 100%  Katolik,”  ujarnya.  Setelah masuk Katolik, keluarganya kemudian semua menjadi Katolik.

Mendut
Mbah Kis lalu sekolah di HIS Mendut,  sekolah keputrian Katolik. Di sekolah inilah ketekunannya untuk selalu berdoa semakin terbentuk.  Kehidupan doa di sekolah itu begitu kental, ditandai cara berdoa yang penuh penghayatan, membuat setiap siswa dekat dengan Tuhan.
Hanya dua tahun Mbah Kis bersekolah di Mendut.  Dia menyebutnya kursus.  Meski demikian, dengan bekal pendidikannya, dia lalu mengajar di Boro selama empat tahun.
Mbah Kis menikah dengan Yosep Kismo Sewoyo tahun 1936.  Romo Paroki Promasan yang berjasa mempertemukannya dengan calon suami. Dia diperkenalkan kepada tiga pemuda. Dengan yang pertama dia merasa tidak cocok. Dengan yang kedua juga demikian. Saat diperkenalkan kepada pemuda ketiga, entah  mengapa, dia merasa pemuda ketiga inilah  jodohnya. 
                Tahun 1939, Mbah Kis yang sedang mengandung  anak kedua,  mengikuti suaminya pindah ke Babadan.  Suaminya menjadi kepala Volkschool milik Yayasan Kanisius di Babadan, sekaligus menjadi katekis yang turut menyemai bibit iman Katolik di sekitar Babadan. 
Dia dikaruniai  12 anak, 30 cucu, dan 19  buyut.  

Sampai ke Jawa Timur
Suaminya meninggal 20 Mei 1976.  Sejak itu dia sendiri mencari penghasilan untuk menghidupi anak-anaknya.    Uang pensiun almarhum suaminya  sebagai pegawai golongan 2b tidak seberapa. Sedangkan tanah bengkok desa yang dikelola karena suami pernah menjabat sebagai carik,  harus dikembalikan  2 tahun setelah suaminya meninggal.
Dia mulai berjualan apa saja yang mendatangkan untung.  Dia  berjualan  palawija. Dia  mengumpulkan hasil  tani yang dibeli  dari  penduduk di sekitar rumahnya  untuk  disimpan dan   kemudian  dilepas ke pasaran ketika  harga tinggi. Bahkan dia pernah berjualan pakaian  sampai ke  Jawa Timur.    
Tidak selalu perjalanan hidupnya berjalan lancar.  Saat berdagang, dia juga pernah beberapa kali ditipu lawan dagangnya.  Atau kadang-kadang anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan berulah membuat susah. Namun semua itu dihadapinya dengan sabar. Selalu mencoba menahan diri agar tidak marah atau sakit hati.  Menghadapi berbagai suka-duka kehidupan, doa  adalah senjatanya. 
Dia mengaku, itu tidak mudah. Suatu saat, karena jengkel, dia mengumpati (misuh-misuh)  adiknya tanpa yang bersangkutan mengetahuinya. Sebelumnya dia tidak tahu bahwa itu adalah dosa. Begitu diberitahu bahwa itu dosa, dia langsung menghadap romo untuk mengaku dosa. 
Maka, bagi Mbah Kis, mengendalikan hawa nafsu sangatlah penting. Sebab itu, laku pantang dan  puasa pada masa  prapaskah  dijalaninya dengan kesadaran  penuh sebagai latihan pengendalian diri, tanpa beban.   Bahkan dia merasa laku pantang dan  puasa sebagaimana diajarkan Gereja masih terlalu ringan.  Jadilah  selama  40 hari di masa APP dia jalani dengan   makan 1  kali sehari   tanpa garam.   Itu  dia lakukan sampai usia 60 tahun. 
Dengan mengendalikan diri, dia merasa lebih pantas sowan Gusti.  Dengan menahan diri, dia merasa lebih bisa dekat kepada Tuhan saat berdoa.  Doa adalah  senjata baginya untuk menghadapi suka-duka kehidupan. Senjata untuk memerangi emosi atau keinginan yang kadang berkecamuk di dalam dirinya, di dalam hatinya. 

Menghadap Tuhan dengan tenteram
Sebelum  kecelakaan dini hari yang membuatnya  harus berjalan menggunakan tongkat,  dia terlibat aktif dalam  kegiatan di lingkungan dan masyarakat. Relasi kekerabatan dan  persaudaraan yang masih kental  dan guyub,   membuatnya  senang berinteraksi dengan siapapun dan  dengan pemeluk agama apapun.
Pertemuan lingkungan selalu diikutinya. Meski tak pernah membaca Kitab Suci,  dia  selalu berusaha membaca buku panduan APP,  BKL, BKS,   atau Adven,  yang dibagikan dalam   pertemuan  doa  lingkungan. Menurut pengakuannya  dia pernah punya Kitab Suci tapi dipinjam orang dan  tidak  dikembalikan.
Dengan doa sebagai senjata, meski harus sendirian menghidupi ke 12 anaknya,  dia tak pernah  merasa ditinggalkan oleh-Nya.  Dia juga tidak pernah meninggalkan-Nya. Selalu dekat dengan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, itulah yang menghidupi dan dihidupinya.  Penyertaan Tuhan sepeninggal suaminya, sungguh dia rasakan.  Karena itu, saat  merayakan ekaristi syukur ulang tahun ke-100,  Sabtu 6 Juli 2013, dia  berpesan  pada seluruh anak  (tiga anaknya sudah meninggal),  cucu, menantu, hingga buyut agar mereka tidak  meninggalkan agama.
Dia  merasa semua  harapan dan cita-citanya sudah terwujud.  Di  ujung usia senjanya,  hanya satu keinginannya,  Sowan Gusti kanthi tenterem” ( Menghadap Tuhan dengan tenteram).  Dia siap sesewaktu dipanggil  Tuhan.(PRondangP/M Etty Tri Poesporini)***