(2-habis)
Saat HUT ke-100 |
"Donga iku gaman," kata Mbah Kis. Tiada hari yang dilaluinya tanpa doa. Dengan berdoa, dia merasa betul bagaimana Tuhan teramat menyayanginya. Kalau ada doa yang belum atau tidak dikabulkan, dia menyikapinya dengan berpasrah:“Karsa
Dalem kalampahana (Jadilah kehendak-Mu)”.
Setiap hari,
kegiatannya diawali dan ditutup dengan doa. Di
kamarnya, sekitar pkl. 19.00
lilin dinyalakan di samping patung Bunda Maria.
Dia lalu berdoa rosario sebelum
istirahat. Dia percaya sepenuh
hati bahwa hanya doa dan dengan doa,
maka dia bisa menjalani hidup ini
dengan ayem tenterem, tanpa amarah setititik pun. Bahkan ketika ditipu orang atau dibuat susah
anaknya.
Menguntai Rosario dari Ranting
Dilahirkan sebagai anak ke 4 dari 7 bersaudara,
Mbah Kis merasa paling kecil
dan jelek dibanding saudara-saudarinya.
“Aku diadohi merga elek, kuru tur nyengingis (Aku dijauhi karena
jelek, kurus dan suka meringis),”
tuturnya sambil tertawa tanpa menyiratkan rasa rendah diri.
Masa kecil dihabiskannya di Kulon
Progo. Setiap hari dia lalui
dengan agenda yang sama: belajar di sekolah, angon usai sekolah, bermain dengan teman sebaya atau
saudara-saudaranya, atau membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ketertarikannya masuk
Katolik diawali sewaktu menjadi murid
sekolah Katolik. Teman-temannya satu
sekolah kebanyakan Katolik. Dia ingin berdoa
seperti mereka. Suatu saat keinginan itu muncul begitu kuat. Ketika itu dia
sedang angon. Dari kejauhan dia melihat teman-temannya
berdoa di Gereja sambil berlutut dengan untaian rosario di genggaman tangan.
Terdorong keinginan bisa berdoa rosario
seperti teman-temannya, serta-merta dia mematah-matahkan ranting untuk diuntai menjadi sebuah rosario.
Dia kemudian berlutut di pematang
sawah, lalu menirukan ritual berdoa
rosario yang dilakukan teman-temannya. Sejak saat itu, dia menjadi seorang
pendoa yang tekun.
Keinginannya menjadi
Katolik sempat terhalang restu
orangtuanya. Setelah tiga kali meminta izin, barulah pada tahun 1921
dia dibaptis. Kemudian hari
dia menjadi pemeluk Katolik yang
taat. “Harus 100% Katolik,”
ujarnya. Setelah masuk Katolik,
keluarganya kemudian semua menjadi Katolik.
Mendut
Mbah Kis lalu sekolah
di HIS Mendut, sekolah keputrian
Katolik. Di sekolah inilah ketekunannya untuk selalu berdoa semakin
terbentuk. Kehidupan doa di sekolah itu
begitu kental, ditandai cara berdoa yang penuh penghayatan, membuat setiap
siswa dekat dengan Tuhan.
Hanya dua tahun Mbah
Kis bersekolah di Mendut. Dia
menyebutnya kursus. Meski demikian,
dengan bekal pendidikannya, dia lalu mengajar di Boro selama empat tahun.
Mbah Kis menikah dengan
Yosep Kismo Sewoyo tahun 1936. Romo
Paroki Promasan yang berjasa mempertemukannya dengan calon suami. Dia
diperkenalkan kepada tiga pemuda. Dengan yang pertama dia merasa tidak cocok.
Dengan yang kedua juga demikian. Saat diperkenalkan kepada pemuda ketiga,
entah mengapa, dia merasa pemuda ketiga
inilah jodohnya.
Tahun 1939, Mbah Kis yang
sedang mengandung anak kedua, mengikuti suaminya pindah ke Babadan. Suaminya menjadi kepala Volkschool milik Yayasan Kanisius di Babadan, sekaligus menjadi
katekis yang turut menyemai bibit iman Katolik di sekitar Babadan.
Dia dikaruniai 12 anak, 30 cucu, dan 19 buyut.
Sampai
ke Jawa Timur
Suaminya meninggal 20
Mei 1976. Sejak itu dia sendiri mencari
penghasilan untuk menghidupi anak-anaknya.
Uang pensiun almarhum suaminya
sebagai pegawai golongan 2b tidak seberapa. Sedangkan tanah bengkok desa
yang dikelola karena suami pernah menjabat sebagai carik, harus dikembalikan 2 tahun setelah suaminya meninggal.
Dia mulai berjualan apa
saja yang mendatangkan untung. Dia berjualan
palawija. Dia mengumpulkan
hasil tani yang dibeli dari
penduduk di sekitar rumahnya
untuk disimpan dan kemudian
dilepas ke pasaran ketika harga
tinggi. Bahkan dia pernah berjualan pakaian
sampai ke Jawa Timur.
Tidak selalu perjalanan
hidupnya berjalan lancar. Saat
berdagang, dia juga pernah beberapa kali ditipu lawan dagangnya. Atau kadang-kadang anaknya yang sedang dalam
masa pertumbuhan berulah membuat susah. Namun semua itu dihadapinya dengan
sabar. Selalu mencoba menahan diri agar tidak marah atau sakit hati. Menghadapi berbagai suka-duka kehidupan,
doa adalah senjatanya.
Dia mengaku, itu tidak
mudah. Suatu saat, karena jengkel, dia mengumpati (misuh-misuh) adiknya tanpa
yang bersangkutan mengetahuinya. Sebelumnya dia tidak tahu bahwa itu adalah
dosa. Begitu diberitahu bahwa itu dosa, dia langsung menghadap romo untuk
mengaku dosa.
Maka, bagi Mbah Kis,
mengendalikan hawa nafsu sangatlah penting. Sebab itu, laku pantang dan puasa pada masa prapaskah
dijalaninya dengan kesadaran
penuh sebagai latihan pengendalian diri, tanpa beban. Bahkan dia merasa laku pantang dan puasa sebagaimana diajarkan Gereja masih
terlalu ringan. Jadilah selama
40 hari di masa APP dia jalani dengan
makan 1 kali sehari tanpa garam. Itu
dia lakukan sampai usia 60 tahun.
Dengan mengendalikan
diri, dia merasa lebih pantas sowan Gusti. Dengan menahan diri, dia merasa lebih bisa
dekat kepada Tuhan saat berdoa. Doa
adalah senjata baginya untuk menghadapi
suka-duka kehidupan. Senjata untuk memerangi emosi atau keinginan yang kadang
berkecamuk di dalam dirinya, di dalam hatinya.
Menghadap
Tuhan dengan tenteram
Sebelum kecelakaan dini hari yang membuatnya harus berjalan menggunakan tongkat, dia terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan dan masyarakat. Relasi
kekerabatan dan persaudaraan yang masih
kental dan guyub, membuatnya
senang berinteraksi dengan siapapun dan
dengan pemeluk agama apapun.
Pertemuan lingkungan
selalu diikutinya. Meski tak pernah membaca Kitab Suci, dia
selalu berusaha membaca buku panduan APP, BKL, BKS,
atau Adven, yang dibagikan
dalam pertemuan doa
lingkungan. Menurut pengakuannya
dia pernah punya Kitab Suci tapi dipinjam orang dan tidak
dikembalikan.
Dengan doa sebagai
senjata, meski harus sendirian menghidupi ke 12 anaknya, dia tak pernah merasa ditinggalkan oleh-Nya. Dia juga tidak pernah meninggalkan-Nya.
Selalu dekat dengan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, itulah yang menghidupi dan
dihidupinya. Penyertaan Tuhan
sepeninggal suaminya, sungguh dia rasakan.
Karena itu, saat merayakan
ekaristi syukur ulang tahun ke-100,
Sabtu 6 Juli 2013, dia
berpesan pada seluruh anak (tiga anaknya sudah meninggal), cucu, menantu, hingga buyut agar mereka
tidak meninggalkan agama.
Dia merasa semua
harapan dan cita-citanya sudah terwujud.
Di ujung usia senjanya, hanya satu keinginannya, “Sowan
Gusti kanthi tenterem” ( Menghadap Tuhan dengan tenteram). Dia siap sesewaktu dipanggil Tuhan.(PRondangP/M Etty Tri Poesporini)***