Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Tak Lakukan Lima Perintah Gereja,
Tuhan Tetap Campur Tangan


"Selama lima tahun di Malaysia, saya tidak pernah melakukan Lima Perintah Gereja. Tapi saya merasakan Tuhan tetap campur tangan dalam kehidupan saya."   
     Pengakuan itu diungkapkan saat sharing umat Lingkungan Emmanuel, dengan topik Lima Perintah Gereja, Kamis (12/09/2013).  Sharing dilakukan untuk menguatkan iman melalui pendalaman Kitab Suci dan Ajaran Gereja.
    Dwi berada di Malaysia tahun 1999 - 2004.  Sewaktu kelas II SMA, sama sekali  tidak terpikirkan olehnya berangkat ke negeri jiran itu untuk mencari kerja. Dia berpikir, untuk apa bekerja di sana kalau  hanya menjadi kuli. Tak  mungkin bisa jadi bos."  
   Entah mengapa, justru begitu lulus, dia berangkat dikirim sebuah perusahaan PJTKI. Menurutnya, barangkali kondisi di Tanah Air ikut mendorong kepergiannya. Saat itu krisis moneter. 
Sulit mencari kerja, lebih banyak yang di-PHK. Dia berpikir, gaji dalam ringgit Malaysia, karena perbedaan nilai tukar akan menjadi  sesuatu bila dikirimkan ke Indonesia.  Dia naik pesawat terbang dari Yogyakarta ke Jakarta, lalu ke Kualalumpur. "Sekarang, kalau saya renungkan, mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran karena ucapan saya itu."
 
Domba yang hilang tetap dicari-Nya
        Bahwa Tuhan tetap campur tangan dalam kehidupannya mulai dia sadari setelah hampir dua tahun di Malaysia. 
         Mula-mula dia bekerja di perusahaan pencelupan benang. Dia tidak betah di sana. Mesin pencelupan sudah tua, sehingga sering terjadi kecelakaan kerja.  Benang yang bergerak oleh roda pemintalan bisa menjadi pisau setajam sembilu, memutuskan jari-jari.
       Tiga bulan kemudian, dia pindah kerja ke suatu perusahaan buah-buahan di Air Hitam, Johor.  Dokumen pribadi dan Kitab Suci yang dia bawa dari Tanah Air tertinggal. 
        Di Air Hitam, Dwi juga tidak lama bekerja di sana.  Dia lalu pindah kerja ke perusahaan perkebunan kelapa sawit di Segamat, Pahang.   
         Tinggal bersama 14 orang asal Sasak Lombok, NTB, di pondokan yang dikelilingi pohon kelapa sawit, menyebabkan dia merasa sendirian.  Soalnya, hanya dia saja yang Katolik.  Perbedaan iman mulanya menciptakan jarak, walau belakangan hubungan mereka bisa lebih cair setelah melalui diskusi mengenai iman masing-masing.
       Keadaan semacam itu menimbulkan kerinduan Dwi untuk pergi ke gereja.  Pada hari Minggu dia mencoba mencari gereja Katolik di kota terdekat. Begitu pula saat di Batu Pahat, Johar Baru. Namun tidak ketemu. Yang ada hanya gereja Presbyterian atau Baptis. Umatnya keturunan India, atau China. Dia ragu mengikuti kebaktian di gereja itu.
         Lewat suatu peristiwa, dia lantas menyadari, betapa Tuhan tetap campur tangan dalam kehidupannya. Suatu saat, dia membeli radio genggam yang hanya dapat menangkap gelombang SW.  Harapannya, melalui radio itu perkembangan di Tanah Air akan dapat diikuti.
        Dwi tidak ingat lagi persis, namun dia ingat peristiwa  itu terjadi setelah 1,5 tahun di negeri jiran. Suatu sore, tidak sengaja ia mendengar dari radio pembacaan Sabda Tuhan dari Perjanjian Lama. Sontak dia menangis tersedu-sedu. Semua beban hidup, kerinduan, hilang sekejap begitu mendengar Sabda Tuhan itu.  
        Bagi Dwi, itulah cara Tuhan untuk  menunjukkan campur tangan-Nya.  Menunjukkan bahwa Dia selalu mendampingi, kapan dan di mana pun.  Tuhan tetap mencarinya. Menurut Dwi, Tuhan tetap mencari satu domba-Nya yang hilang.  

Mendaki bukit dengarkan Sabda Tuhan
    Sejak saat itu, Dwi setiap sore naik ke bukit yang  berjarak sekitar 1,5 km dari pondokannya. Bukan karena sedang ada acara 'kotbah di bukit' berlangsung  di  sana. Di bukit itu suara radio terdengar lebih jelas. Sedang di  sekitar  pondokan, yang berada di lembah, di tepi kolam, dikelilingi pohon kelapa sawit, siaran radio tidak begitu jelas.     
      Dwi mengatakan, tidak ingat lagi stasiun radio yang pertama kali di dengarnya.  Dia cuma ingat satu nama stasiun radio, Voice International, kira-kira seperti itu. Siaran radio itu berbahasa Indonesia,  dipancarkan dari Queensland, Australia. 
     Siaran rohani itu berlangsung sekitar 30 menit.  Diawali dengan pembacaan Sabda Tuhan, dilanjutkan penjelasan, kemudian diakhiri dengan lagu-lagu rohani. 
      Siaran berakhir menjelang magrib. Dwi lalu berjalan menuruni bukit, kembali ke pondokan. Membawa kekuatan yang diperolehnya setelah mendengar Sabda Tuhan.  

Kembali
       Dari Segamat, Dwi pindah kerja ke Sawah Batu, di kota Muamazah, Pahang.  Di tempat  itu, tahun 2002, ada pemutihan bagi TKI. Dia lalu mengurus paspor ke Batam, lalu kembali ke Sawah batu.
     Kemudian, dia pindah kerja lagi ke Batu Pahat, Johor Baru. Satu setengah tahun dia bekerja di sebuah perusahaan pengemasan buah-buahan yang akan diekspor ke Singapura.
       Tahun 2004, Dwi memutuskan pulang.  Atasannya mencoba menahan.  Katanya, Indonesia sedang tidak aman menyusul pemboman di Kuningan.  Dwi mengatakan, negerinya begitu luas, bukan hanya Jakarta, di mana bom bunuh diri meledak.  Lagi pula dia semakin menyadari, tidak ada gunanya berambisi mencari harta sebanyak-banyaknya. Lebih baik hidup sederhana di kampung sendiri, bersama keluarga,  dan bisa ke gereja.  
        Dwi menikah dengan Caecilia Siti Haryani, tahun 2010.  Putri semata wayang kedua pasangan itu, Angelina Barbara Karmelita,  kini berusia hampir 2 tahun.  Meski sibuk oleh pekerjaannya sebagai karyawan tetap RS Bethesda Lempuyangwangi, Dwi tetap meluangkan waktu untuk melaksanakan tugas pelayanan sebagai Sekretaris Lingkungan Emmanuel.(ProndangP***