Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Urip Mung Atur Panuwun Lan Nyenyuwun
(Hidup itu untuk Bersyukur dan Memohon)

Foto:  M Etty Tri Poesporini
(1)
Hidup itu untuk bersyukur dan memohon. Begitulah Maria Marni, memandang hidup yang telah dijalaninya 100 tahun lebih.  Bersyukur atas segala anugerah dari-Nya, dan memohon pengampunan. 
       Dia mengucapkan itu dengan wajah yang teduh dan sorotan mata  memancarkan  keyakinan  kuat.  Bersyukur dan memohon membuatnya selalu rindu sowan Gusti.  Kerinduan yang memberinya energi luar biasa.    
      Sewaktu masih bisa berjalan sendiri tanpa bantuan apapun, dia bangun pukul 04.00 dini hari. Dengan tubuh ringkihnya,  dia lalu berjalan terbungkuk-bungkuk sejauh 1,5 kilometer dari rumahnya di Babadan menuju gereja untuk mengikuti misa harian. Dia tidak menunggu putri atau cucunya agar jalan bersama.  Dia mendahului mereka yang menyusul belakangan.
      Mbah Kis, panggilan akrabnya, lahir 23 Januari 1913 di Kulon Progo.  Pandangan  matanya tajam,  suara masih  lantang.  Di antara  keriput  kedua  pipinya,  senyumnya masih terlihat  sumringah,  kadang ditingkah derai  tawanya  yang lepas  ketika dia  menuturkan pengalaman hidupnya. Pikirannya masih jernih,   daya ingatnya masih  kuat.    Dia duduk  bersandar di kursi sofa. Sesekali tubuhnya dia  tegakkan seolah hendak mengusir pegal.   Tangannya kadang mengelus gagang tongkat yang disandarkan di samping kanan.

Kesasar
      Dia setia mengikuti misa harian sejak  2007.  Waktu itu, misa harian hanya dua kali seminggu. Belum ada rama  paroki yang menetap di pasturan. Sejak ada rama menetap di pasturan, misa harian diselenggarakan lima kali seminggu, Senin – Jumat. Kesempatan sowan Gusti lima kali seminggu itu tidak pernah dia lewatkan, selama tubuhnya mendukung.
      Kerinduan  sowan Gusti  setiap  pagi ini tak  menyurutkan semangatnya,  walau cuaca tidak bersahabat. Tak   peduli udara dingin menggigit saat dini hari,  atau tubuhnya yang renta basah kuyup  kehujanan, dia tetap berangkat ke gereja.  Selangkah demi selangkah dia ayunkan kaki menapaki jalan yang sepi dan gelap karena belum banyak lampu penerangan.     
      Begitu besar kerinduannya untuk  sowan Gusti.  Suatu saat, dia berangkat  terlalu awal,   pukul  24.00.  Ketika itu dia berpikir hari sudah pagi.  Untung dia diingatkan seorang pemuda yang saat itu sedang ronda. Saat lain, dia bahkan pernah  berjalan sampai sejauh 200 meter ke selatan gereja.  Tubuh tuanya membuatnya harus berjalan  terbungkuk-bungkuk,  sehingga tidak memperhatikan bahwa gereja sudah terlewati.  Seorang umat yang mengenalnya dan juga hendak mengikuti misa harian pagi itu, memberitahu bahwa dia telah melewati gereja.       
      Kehendak kuat   menyambut  Gusti setiap  hari inilah yang memicu kedatangannya pada Perayaan Ekaristi  Sabtu dan Minggu. Susah bagi  putra-putrinya memberi  pengertian bahwa Perayaan Ekaristi  Sabtu dan Minggu cukup diikuti salah satu saja.

Tabrak lari
      Kerinduan sowan Gusti tidak lagi bisa berlanjut sekarang.  Dini hari 4 Februari  2013, dia diserempet sepeda motor saat akan mengikuti misa harian, sekitar 300 meter di tepi jalan arah utara gereja.  Dia terkejut, lalu jatuh terduduk berselonjor di tepi jalan. Ketika mencoba menggerakkan kaki, dia tidak mampu karena terasa amat sakit. Pengendara sepeda motor kabur begitu saja.  Sepuluh menit lebih, tidak ada yang menolong. Barangkali orang-orang yang melintas di jalan itu menganggapnya ‘wong kapiran.’  
      Tak lama kemudian, M Hangabdiwiyono dari  Lingkungan St. Elisabeth dan P Garoko dari Lingkungan St. Yustinus, yang juga akan mengikuti misa harian, tiba di tempat itu. Begitu pula putrinya.  Lidya  Liestyanti.  Pertolongan segera diberikan. Dia lalu dibawa ke rumah sakit.           
      Sejak diserempet sepeda motor,   yang mengakibatkan retak tulang paha kanan,  dia  hanya memendam semua  kerinduannya sowan Gusti pada pagi hari. Setelah  dioperasi untuk  menyembuhkan kakinya itu, hingga sekarang dia berjalan pakai tongkat. Praktis, dia hanya  bisa mengikuti  Perayaan   Ekaristi sekali setiap  minggu bersama keluarga putrinya. Dia tidak lagi bisa berjalan kaki ke gereja. Tetapi naik mobil. Setiba di halaman gereja, turun dari mobil, dia  berjalan pakai tongkat masuk ke gereja. Dia mau sowan Gusti. Untuk bersyukur.  Untuk memohon. (bersambung)(P Rondang Pasaribu/M  Etty Tri Poesporini).