Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Cecilia Poniyam (2-habis):
Tanda Salib Sebelum Makan Siang di Huntara


Suatu siang setelah erupsi Merapi 5 November,  Bu Poniyam sendirian di huntara (tempat hunian sementara). Dia duduk di atas tikar. Dihadapannya sudah tersedia makanan. Dia akan makan siang.  Sebelum menyantap makanan, dia membuat tanda salib dan mulai berdoa.
   Tanpa dia sadari, ada seorang perempuan di luar pintu yang memperhatikan. Perempuan itu menunggu sampai Bu Poniyam selesai berdoa. Sesudah itu, perempuan tersebut minta ijin masuk, lalu memperkenalkan diri.
        Perempuan itu bernama Bertha, berusia sekitar 40 tahun, datang dari Jakarta
bersama rombongan untuk menyampaikan bantuan kepada para pengungsi yang tinggal di huntara. Dengan hati-hati, Bertha bertanya apakah Bu Poniyam seorang Katolik, karena membuat tanda salib sebelum makan siang.  Bu Poniyam mengiyakan.
      Sambil menyelesaikan makan siang, Bu Poniyem berbincang-bincang dengan Bertha, yang juga Katolik. Banyak yang ditanyakan Bertha. Tentang pengungsi, tentang SD Giriharjo yang kini telah tertimbun pasir Merapi.
        Di akhir pertemuan itu, Bertha berjanji akan mengupayakan beberapa komputer untuk SD Giriharjo. Janji itu ditepati. Empat komputer PC yang disumbangkan donatur atas upaya Bertha, sampai kini masih bekerja dengan baik. 

Tulus memberi yang terbaik
    Setelah erupsi Merapi 5 November, Bu Poniyam memang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang seperti Bertha, yang dianggapnya berpotensi menggalang donasi agar segera dapat mendirikan gedung sekolah pengganti gedung lama yang telah tertimbun pasir.  Murid-muridnya harus segera sekolah.
     Bu Poniyam tidak lagi mengurusi pengungsi. Para penduduk yang sebelumnya mengungsi di SD yang dipimpinnya (lihat: Cecilia Poniyam:  Karena dikasihi Tuhan...), telah ditempatkan di penampungan yang dikelola oleh pemerintah, lembaga swasta, maupun para relawan. Belakangan, bagi setiap keluarga pengungsi, termasuk keluarga Bu Poniyam, telah didirikan rumah sementara yang disebut huntara (tempat hunian sementara).
     Meski demikian, sesekali dia masih mengunjungi para mantan pengungsi itu, yang sudah begitu akrab dengannya tatkala mereka masih ditampung di kompleks SD Giriharjo.   Dari mereka Bu Poniyam tahu, bahwa barang-barang bantuan yang sengaja dipilihnya agar yang sampai ke tangan para pengungsi adalah barang yang bermutu baik dan fungsional, mendapat penghargaan di mata mereka.  Itu tercermin dalam kalimat sebagaimana ditirukan Bu Poniyem: "Orang Katolik itu kalau memberi walau sedikit, barangnya bermutu dan sangat berguna." 
      Ungkapan seperti itulah yang meyakinkan Bu Poniyam bahwa apa yang dilakukannya - selalu memberi yang terbaik secara tulus - tidak sia-sia.  Ungkapan senada pula yang menyejukkan hatinya, yang dikisahkan sendiri oleh Pak RT. Menurut Pak RT, ada sekolompok orang yang mendatangi pengungsi dan mengatakan kalau dapat bantuan dari gereja atau umatnya ditolak saja   Ketua RT, yang bukan Katolik, membalas:  "Kalau  itu perkataanmu silakan pulang saja, tidak  usah membantu kami. Karena mereka membantu dengan tulus."  Semua itu semakin meneguhkan keyakinannya, bahwa karena Tuhan telah lebih dulu mencintainya, maka sebagai ungkapan syukur dia juga dengan tulus harus berbagi terhadap  sesama.

Gedung SD direlokasi
     Setelah para pengungsi sudah ada yang mengurus, Bu Poniyam kemudian lebih memusatkan upaya mencari bantuan agar bangunan pengganti gedung SD pimpinannya yang telah tertimbun pasir segara dibangun di tempat yang lebih aman.  Walaupun nantinya bangunan itu sederhana, yang penting murid-muridnya bisa sekolah kembali.
      Perhatiannya untuk mengupayakan pembangunan sekolah di tempat relokasi menyita waktunya.  Akibatnya, suaminya FX Sunarto, yang juga guru SD di Manisrenggo, protes:  "Hidupmu kok hanya untuk sekolah." Dia hanya menjawab, bahwa perhatian penuh yang diberikannya karena selama ini sekolah itulah yang dihidupi dan menghidupinya.
          Berkat bantuan dana dari beberapa lembaga donatur,  di antaranya yang dia ingat Bank Mandiri dan Bank UOB, bangunan SD di tempat relokasi akhirnya berdiri.  Masih semi permanen, beratapkan seng.  Saat hujan deras turun, suara hujan menimpa atap seng itu menimbulkan suara berisik.  Manakala matahari bersinar terik  siang  hari, murid-muridnya kepanasan. Itulah sebabnya, sampai kini dia tak henti-hentinya menagih janji Dinas Pendidikan agar segera membangun gedung yang permanen. Dia berharap, dalam dua tahun mendatang, gedung   baru itu telah berdiri.    
       Setelah sekolah direlokasi, dia harus merelakan sebagian muridnya  yang pindah ke sekolah lebih dekat dengan rumah mereka. Sebab, kalau tetap sekolah di tempat relokasi, mereka harus melintasi hamparan pasir yang tumpah dari merapi. Suatu hal yang membahayakan. Maka, jika sebelum erupsi jumlah muridnya lebih dari 160 orang, kini tinggal 139 siswa. Guru pengajar juga berkurang, dan harus dicari pengganti. Enam guru berhenti mengajar karena stress, bahkan satu diantaranya meninggal dunia.
       Kini semua telah berjalan normal kembali. Sekolah telah berjalan lancar. Para penduduk yang dulu masih tinggal di huntara, sekarang sudah sudah tinggal di rumah hunian tetap (huntap) yang dibangun pemerintah, atau di rumah yang justru dibangun sendiri oleh warga.
       Memang, tidak sedikit penduduk setempat yang berhasil meningkatkan ekonomi keluarga setelah erupsi Merapi. Banyak di  antara mereka yang mengusahakan penambangan pasir atau pembuatan batako. Namun, peningkatan ekonomi itu menimbulkan ekses. Banyak di antara anak didiknya kini memiliki ponsel canggih. Suatu saat, ada seorang siswa terpergok nonton situs porno lewat ponsel. Bu Poniyam menangis. Setelah kejadian itu,  dia mengajak pihak kecamatan, dinas, atau kepolisian untuk memberi semacam pengarahan saat berlangsung upacara bendera yang dihadiri seluruh siswa.(PRonP/MEttyTriP)***