Baginya, pekerjaan seberat apapun, asal dijalani dengan senang akan terasa ringan. “Apapun, kerjakan, dan jangan bertopang dagu, nanti Tuhan pasti akan menuntun kita,“ kata Elisabet Kristimuryani (56).
Dengan keyakinan seperti itulah Bu Yanto – demikian dia biasa disapa – bersama suaminya, Aloysius Sugianto, memulai hari setiap pagi. Mengendarai pick up Toyota Kijang hijau keluaran tahun 1980, setiap pagi mereka berkeliling dari rumah ke rumah mengambil sampah. Itu termasuk mengambil sampah dari halaman Gereja St. Petrus & Paulus Babadan setiap Jumat pagi.
Pengambilan sampah diawali dari Dusun di Sambiroto, di mana keduanya tinggal.
Setelah itu berlanjut ke perumahan Griya Purwa Asri, lalu ke Dusun Manukan, dan terakhir Condong Catur. Semua sampah itu kemudian diangkut ke TPA Tambak Boyo Condong Catur. Setiap hari pekerjaan rutin ini dilakukan mulai pukul 4 pagi dan berakhir sekitar pukul 11 siang.
Setelah itu berlanjut ke perumahan Griya Purwa Asri, lalu ke Dusun Manukan, dan terakhir Condong Catur. Semua sampah itu kemudian diangkut ke TPA Tambak Boyo Condong Catur. Setiap hari pekerjaan rutin ini dilakukan mulai pukul 4 pagi dan berakhir sekitar pukul 11 siang.
Pekerjaan itu semula dilakukan oleh suaminya bersama Pak Tris dari Minomartani. Tahun 1996, Pak Tris berhenti karena tak kuat lagi. Sejak saat itu, Bu Yanto mulai membantu suaminya, menggantikan Pak Tris.
Bagi Bu Yanto, pekerjaan yang dilakukannya setiap hari itu tidak menjadi hambatan untuk bergaul dengan orang lain. Dia ramah dan baik kepada siapapun.
Enthengan
Bagi Bu Yanto, pekerjaan yang dilakukannya setiap hari itu tidak menjadi hambatan untuk bergaul dengan orang lain. Dia ramah dan baik kepada siapapun.
Enthengan
Menurut kesaksian Bu Menuk, temannya di Lingkungan St. Robertus, Bu Yanto adalah sosok yang enthengan. Kegiatan lingkungan seperti pertemuan atau ibadat lingkungan, layat, koor, atau kegiatan di RT, semua diikutinya dengan ringan hati. Dia selalu siap memberikan apa yang bisa dia berikan, meski itu cuma tenaga, demi kebaikan bersama.
Ada alasan mengapa dia bersikap seperti itu. Dia selalu mengingat, di kala mengalami kesusahan, selalu banyak orang yang membantu. Tahun 1988, keluarganya, dengan 4 orang putri yang masih kecil, mengadu nasib ke Jakarta. Pak Yanto bekerja sebagai mekanik alat-alat berat di bengkel PT Sugito di Cinangka Raya Jakarta. Bu Yanto kemudian membuka warung nasi di mess yang disediakan perusahaan itu.
Suatu saat, salah satu teman kerja yang tak suka pada Pak Yanto menyebarkan fitnah. Pak Yanto kehilangan pekerjaan di bengkel itu.
Beruntung mereka tinggal di lingkungan yang umatnya peduli terhadap kesusahan mereka. Saat itu mereka tinggal di salah satu lingkungan Gereja Babadan Pamulang. Oleh Pak Saman, umat Katolik selingkungan, mereka diperkenalkan kepada Bu Inge Harlan. juga umat Katolik di lingkungan itu. Ibu Inge Harlan kemudian memberi tumpangan di rumahnya.
Tak lama kemudian, Pak Yanto mendapat pekerjaan di sebuah bengkel lain. Sedang Bu Yanto berjualan di depan SD Mater Dei.
Hidup dirasakan semakin berat ketika kelima putrinya semakin besar. Biaya yang diperlukan semakin banyak, sementara penghasilan hanya pas-pasan. Dari usahanya jualannya itu Bu Yanto bisa memperoleh 25 ribu perhari, sedangkan Pak Yanto hanya bisa mengais rezeki 5 ribu perhari. Memang, anak-anaknya mendapat beasiswa dari gereja.
Kebaikan yang membekas
Kebaikan yang membekas
Namun bukan itu yang merisaukan keduanya. Ada perasaan risi karena terus menerus mendapat bantuan baik dari gereja maupun dari umat seiman di lingkungan. Mereka bukan hendak menolak kebaikan umat seiman di lingkungan, melainkan ingin mencoba hidup mandiri. Setelah mempertimbangkan secara mendalam, keluarga Bu Yanto akhirnya pindah ke Yogyakarta, tinggal di Sambiroto.
Kebaikan hati umat seiman selingkungan di Jakarta sangat membekas di
hati Bu Yanto. Kebaikan mereka menyadarkan Bu Yanto bahwa Tuhan sangat
sayang padanya. Dia mengalami bahwa lewat orang-orang baik hati seperti
mereka, Tuhan telah menolongnya.
Karena itu, semenjak tinggal di Sambiroto, di rumah yang dibeli dengan
uang hasil penjualan tanah warisan dan ditambah bantuan dari kakak Pak
Yanto, keluarga Pak Yanto selalu aktif di lingkungan. Mereka baik
terhadap setiap orang, selalu ingin memberi yang terbaik yang mereka
bisa.(PRonP/MEttyTriP) (bersambung).***