Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Sekolah Iman:
Menyangkal diri tidak hanya 9 hari

Wajib puasa memang hanya 2 kali (Rabu Abu dan Jumat Agung). Sedang wajib pantang hanya 7 kali (setiap Jumat selama Masa Prapaskah).  Meski  demikian, bukan berarti di luar ke-9 hari tersebut umat Katolik lantas menganggap pantas makan yang enak-enak sebanyak-banyaknya sebagai bentuk ‘balas dendam’ karena telah berpuasa dan berpantang. 
       Perilaku demikian justru menyimpang dari makna masa pertobatan 40 hari
sebagaimana dianjurkan Gereja. Rm. Robertus Triwidodo menegaskan hal itu di tengah pembahasan  lanjutan mengenai Masa Prapaskah dan Trihari Paskah dalam Sekolah Iman di Gereja St. Petrus & Paulus Babadan, Rabu (19 Maret 2014).
       Lebih lanjut dijelaskan, penghayatan dan pengamalan tobat selama Masa Prapaskah perlu disertai perhatian khusus terhadap aspek sosial masa pertobatan tersebut. Dengan kata lain, penyengkalan diri melalui pantang dan puasa sebagai salah satu bentuk tobat Masa Prapaskah empat puluh hari janganlah dimaknai secara harfiah. Juga bentuk tobat seharusnya tidak hanya dipahami latihan batin dan individual, melainkan juga bersifat lahiriah dan sosial.  
     Terkait dengan dimensi  sosial tersebut, makan enak-enak sepuas-puasnya setelah pantang dan puasa selama 9 hari, bisa diartikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap penyangkalan diri dan sekaligus ketidak-pedulian kepada mereka yang berkekurangan. Padahal untuk mereka inilah sebenarnya hasil APP akan diberikan. Dan itulah sebabnya mengapa bentuk tobat disebut bersifat sosial.
       Selain hal tersebut di atas, ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta dalam kesempatan tersebut, yaitu tentang komuni dua rupa, Paskah Minggu Pagi, ibadat sore sebagai akhir Trihari Paskah, dan salah kaprah mengenai penyerahan hasil APP. 

Dua rupa 
       Mengapa saat Perayaan Ekaristi Malam Paskah umat tidak mendapat komuni dalam dua rupa? Pertanyaan tersebut muncul merujuk rumusan pada pedoman yang menyebutkan bahwa pada Perayaan Malam Paskah komuni diberikan dalam dua rupa. 
       Dijelaskan, sesuai tradisi paling kuno, idealnya dalam Perayaan Ekaristi Malam Paskah, umat mendapat komuni dua rupa. Namun mempertimbangkan berbagai hal, semisal ketersediaan jumlah imam dan juga waktu, sampai saat ini dalam Perayaan Ekaristi Malam Paskah komuni masih diberikan dalam satu rupa saja. 

Minggu Paskah Pagi sedikit yang datang. 
       Ada pula pertanyaan mengenai Perayaan Paskah Minggu pagi. Perayaan Malam Paskah dipahami dan dihayati sebagai puncak. Dengan pemahaman seperti itu, Perayaan Paskah Minggu pagi dihadiri oleh sedikit umat. Yang hadir kebanyakan orangtua yang mengantarkan anak-anaknya untuk merayakan Paskah Anak-anak 
     Kecenderungan seperti itu sebetulnya tidak perlu terjadi, mengingat perayaan Malam Paskah seharusnya dititikberatkan pada peristiwa peralihan dari sengsara dan wafat ke kebangkitan dan pengharapan. Dengan titik berat seperti itu, maka Perayaan Minggu Paskah lebih dapat bermakna. 

Ibadat Sore akhir Trihari Paskah 
      Saat penjelasan mengenai akhir masa Trihari Paskah, muncul usulan agar ibadat sore sebagai akhir Trihari Paskah dirayakan. 
      Menanggapi usulan tersebut, Rm. Tri mengatakan jika memang ada kerinduan umat untuk menyelenggarakan ibadat sore sebagai tahapan akhir Trihari Paskah, ada baiknya segera melakukan persiapan sebaik-baiknya. 
      Ditambahkan pula, jika sudah dimulai, ibadat sore sebagai tahap akhir Trihari Paskah hendaknya menjadi kebiasaan yang berlanjut. 

Salah Kaprah 
      Ada kebiasaan salah kaprah yang selama ini dilaksanakan. Hasil APP diserahkan setelah Jumat Agung. Padahal seharusnya diserahkan pada Kamis Putih, sebagaimana dirumuskan dalam Pedoman Lingkaran Paskah berikut ini: 
  • Pada persiapan persembahan dapat diadakan perarakan membawa bahan persembahan bagi kaum miskin, terutama sebagai buah pantang selama Masa Prapaskah (SEP 52). Kiranya inilah saat yang tepat menyerahkan hasil Aksi Puasa Pembangunan. (Pedoman Lingkaran Paskah yang disusun oleh Komisi Liturgi Regio Jawa, 16 November 1998). 
      Kebiasaan salah kaprah tersebut terjadi karena pada Jumat Agung, umat masih berpuasa. Karena masih berpuasa sampai Jumat Agung, maka dirasakan kurang afdol apabila menyerahkan apa yang disisihkan sebagai buah pantang dan puasa untuk APP selama masa Prapaskah pada saat Kamis Putih. Dianggap akan lebih pas kalau hasil APP diserahkan Sabtu, sebab dengan demikian, hasil puasa pada Jumat Agung dapat disertakan. Kebiasaan salah kaprah tersebut hendaknya ditinggalkan.***