Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Florentina Susanti (2-habis): "Sumangga Gusti"

Perintah menyelamatkan diri pada Kamis 4 November 2010 ternyata bukan hanya perintah menjauhkan diri dari tempat itu lalu pulang ke rumah. Perintah itu adalah perintah untuk mengungsi ke tempat yang lebih jauh. Batas aman ditetapkan menjadi radius 20 km. 
     Karena itu, sebagaimana penduduk setempat yang tinggal di kawasan berjarak sekitar 10 km dari puncak Merapi, Bu Santi dan kedua anaknya lantas mengungsi sore itu juga. Namun keluarga Bu Santi tidak pergi ke tempat pengungsian. Mereka mengungsi ke tempat saudara di Prambanan, lalu kemudian ke Bantul. Setelah keadaan berangsur aman dan para pengungsi diperbolehkan pulang, Bu Santi dan kedua anaknya juga tidak langsung kembali ke rumahnya, melainkan ke rumah pamannya, Pak Muji, di Kedulan. 
     Selamat dari erupsi Merapi, walau harus berpindah tempat tinggal beberapa kali,
semakin menyadarkan Bu Santi bahwa hidupnya sepenuhnya ada di tangan-Nya. Dia hanya bisa mengatakan: “Sumangga Gusti ” (Terserah Tuhan). 

Pindah berkali-kali 
Bagi Bu Santi, lahir di Pencar Sleman dari pasangan Yohanes Subadi Siswowidodo dan Lusia Abiyem pada 23 November 1961, berkali-kali pindah tempat tinggal bukan pengalaman baru. Tapi, berkat pengalaman itulah dia menyadari, kehidupannya sepenuhnya terserah kehendak Tuhan. Dia tidak tahu apa yang akan dia alami di tempat baru setelah pindah dari suatu tempat.
      Setelah tamat SPG, dia sempat menjadi guru TK selama 3 tahun sebelum akhirnya pada 12 Desember 1982 menikah dengan FX Basuki Widiyanto. Lima hari setelah pernikahannya dia diboyong suaminya ke tampat tugas sebagai kepala cabang Pegadaian di Cikampek. Di tempat baru ini selain aktif mengikuti kegiatan terkait pekerjaan suaminya, dia juga aktif di kegiatan gereja dan lingkungan. 
     Setelah 6 tahun bekerja di Cikampek akhirnya pada tahun 1988 suaminya dipindah ke Singkawang. Di kota inilah mereka dikaruniai dua orang putra, Wahyu dan Ari. 
    Dari Singkawang, Bu Santi dan keluarganya pindah lagi, mengikuti sang suami yang ditugaskan sebagai kepala cabang Pegadaian di Pemangkat (Sambas), Siantan (Pontianak Utara), Majalengka, Cimahi dan Pungkur (Bandung). Di sela-sela kesibukannya dia aktif sebagai katekis dan pendamping Sekolah Minggu. 
    Setelah suaminya meninggal 21 Oktober 2007, Bu Santi dan kedua anaknya pindah ke Dusun Ngerdi, Cangkringan, menempati rumah sendiri yang dibangun tahun 2005. Di tempat inilah Bu Santi mulai menata hidup baru bersama kedua anaknya. Anaknya, Wahyu, memerlukan perhatian khusus. Tak kuasa menanggungkan beban kesedihan begitu sang ayah dipanggil Tuhan, putra sulungnya ini mengalami depresi berat. 
   
Mendapat Peneguhan 
    Sendirian mengelola kehidupan keluarga, terutama mengupayakan seluruh kebutuhan kedua putranya, tidak membuat Bu Santi menarik diri dari pergaulan. Sebagai penduduk baru di Dusun Ngerdi, dia segera berbaur dengan masyarakat setempat.  
    Hal yang sama dia lakukan sebagai umat Gereja St. Fransiskus Xaverius,  Cangkringan. Dia aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan maupun di gereja.  Selain menjadi lektor, anggota koor, atau anggota tim kerja maupun anggota kelompok kategorial, dia juga menjadi sekretaris Koperasi Guyub Rukun, koperasi bentukan umat Katolik Gereja St. Fransiskus Xaverius Cangkringan.
    Ikut serta dalam berbagai kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan menggerja sudah mendarah daging baginya.  Sejak masih duduk di SPG, dia mengaku sudah aktif dalam berbagai kegiatan OMK di Gereja St. Petrus & Paulus Babadan, yang kala itu masih berstatus stasi yang berinduk ke Paroki Kalasan. Kebiasaan itu terus berlanjut walau dia sudah berkeluarga dan pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sekarang. 
    Menurut Bu Santi, dengan aktif di berbagai kegiatan bersama tetangga, begitu pula di lingkungan dan di gereja, dia memperoleh banyak saudara. Dia juga banyak belajar dari orang-orang yang bekerjasama dengannya dalam kegiatan itu. Dan yang paling penting, dia mendapat peneguhan. Melalui pengalaman mereka yang ditemuinya dalam berbagai kesempatan, dia menyaksikan betapa Tuhan selalu melimpahkan kasih-Nya kepada siapapun, termasuk dirinya. 
     Maka, walau masih tinggal di rumah pamannya di Kedulan selama lima bulan setelah erupsi Merapi 5 November 2010, itu tak menghalanginya kembali aktif menjalankan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukannya sebelum mengungsi. Belakangan, dia juga ikut aktif di Posko Belarasa, posko yang dikelola Paroki St. Petrus & Paulus Babadan untuk menyalurkan bantuan dari para donatur – perseorangan atau lembaga – untuk para penyintas Merapi. 

Tidak menyangka 
     Tidak sedikit pun terlintas dalam benaknya bahwa keikutsertaanya menyalurkan bantuan bagi para korban  Merapi akan mengantarkannya ke pengalaman yang membuatnya harus menertawakan diri. “Saya tidak menyangka, dulu saya ikut membantu para pengungsi. Belakangan, saya menjadi orang yang mendapat bantuan dan menjadi pengungsi sungguhan,” katanya sambil tersenyum getir. 
     Peristiwa itu terjadi saat menjelang magrib setelah hujan lebat turun, 1 Mei 2011 di puncak Merapi. Akibat hujan lebat, material vulkanik menjadi lahar dingin berkekuatan dahsyat meluncur dengan kecepatan tinggi melalui beberapa sungai ke arah selatan, salah satunya Kali Gendol yang melintas di belakang rumah Bu Santi. 
     Kabar terjadi banjir lahar dingin segera tersebar. Bu Santi saat itu berada di rumah pamannya di Kedulan.  Menempuh jarak sejauh sekitar empat kilometer, dia bergegas ke rumahnya di Dusun Ngerdi,  yang sudah hampir 5 bulan ditinggalkannya. Jarak dari belakang rumahnya ke sungai hanya sekitar 50 m. Dia khawatir, jangan-jangan lahar dingin sampai ke halaman belakang rumahnya. 
      Kekhawatirannya terbukti. Dia menyaksikan, begitu cepat air sungai yang berisi material vulkanik meluber mengggenangi pekerangan rumahnya. Mula-mula dari halaman belakang kemudian sampai ke jalan di depan rumah. Lembah sungai yang sebelumnya sudah mendangkal tertutup oleh material vulkanik, tak lagi mampu menampung luapan lahar dingin. Lembah sungai  makin melebar dalam waktu seketika, menyusul bantaran sungai yang tergerus lahar dingin. Air bercampur pasir dan batu-batuan mengalir dengan derasnya, menggerus bantaran sungai dan menghanyutkan apa saja yang mencoba menahan lahar dingin tersebut. Halaman belakang rumahnya juga mulai runtuh tergerus. 
      Melihat kondisi itu dia lari menyelamatkan diri bersama yang lainnya mencari tempat aman. Dia mendengar teriakan, termasuk teriakan anak bungsunya, agar tetap di tempat itu, dan jangan mencoba mendekat untuk menyelamatkan sesuatu yang ada di rumahnya. 
     Dalam tempo satu jam, rumahnya benar-benar hanyut membawa serta isinya. Sempat dilihatnya bagaimana dahsyatnya lahar dingin itu bisa membelokkan sepeda motor miliknya yang semula menghadap ke utara lantas berubah arah menghadap ke selatan begitu terseret pusaran arus lahar dingin. Tak lama kemudian, giliran rumahnya ambruk tak kuat menahan terjangan lahar dingin. Bagian demi bagian dari rumah yang terbelah itu terseret mengikuti arus. 
     Menyaksikan itu semua, dia hanya bisa menangis, tapi sesaat saja. Dia sadar bahwa itu semua harus dihadapinya dengan ketabahan. Dalam hati dia berdoa, “Sumangga Gusti, badhe maringi urip kula kados pundi, kula pasrah, sumeleh (Terserah Tuhan, akan memberi hidup bagaimana pun kepada saya, saya pasrah dan berserah pada kehendak-Nya.) 

Kasih-Nya Melimpah 
     Setelah peristiwa itu, Bu Santi tinggal di Dusun Segaran, Tirtomartani. Dari tempat tinggal inilah dia kembali melanjutkan kehidupan hari demi hari. Dia kembali aktif menjalankan berbagai kegiatan dalam kehidupan menggereja atau dalam kehidupan bermasyarakat. 
     Selain itu, dia menjadi Sekretaris kelompok pemilik huntap (hunian tetap) di Tanah Kas Desa Koripan, Dusun Dampakan, Sindumartani. Kelompok ini adalah keluarga yang kehilangan rumah akibat erupsi Merapi, dan mendapat bantuan huntap dari pemerintah. Tugasnya antara lain mencatat kebutuhan bahan bangunan atau biaya setiap hunian selama masa pembangunan sampai huntap tersebut selesai dan bisa didiami. Dia juga ikut mengorganisir anggota kelompok tersebut untuk mengikuti pelatihan keterampilan usaha kecil, mengikuti penyuluhan dan pelatihan agar kelompok tersebut menjadi kelompok yang secara mandiri tanggap bencana. 
     Anaknya yang bungsu telah lulus kuliah dan kini bekerja di Jakarta. Hanya satu keprihatinannya yang tersisa, yakni keadaan putra sulungnya yang masih belum sepenuhnya terbebas dari depresi. Terjangan lahar dingin yang menghancurkan rumah mereka sempat memperparah depresi itu. Namun dia yakin, dengan selalu menyerahkan segalanya, hidupnya dan hidup anaknya, ke tangan-Nya, dia akan mendapat pertolongan-Nya sehingga mampu menghadapi itu semua. 
     Sikap selalu berserah kepada kehendak-Nya adalah sikap yang yang selalu dipegangnya teguh. Dia mengatakan, dalam keadaan apapun, dia sungguh mengalami bahwa Tuhan senantiasa mengasihinya. Dalam perjalanan hidupnya, di mana pun dia berada, Tuhan selalu memberinya kelimpahan yang luar biasa. Sampai kini.(PronP/MEttyTriP)***