Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Kunjungan Bulan Pastoral (2):
Demi Kemanusiaan

Melangkah di jalan sunyi dilakukan Kyai Masrur adalah demi kemanusiaan. Kyai Masrur berpandangan, umat harus didorong untuk berbuat baik terhadap siapapun, demi kemanusiaan. Jika akhirnya ada umat yang berbuat baik, itu Tuhan yang berbicara.
   Karena itu, kalau sekarang relasi antar umat berbeda keyakinan terasa hangat, sesungguhnya itu memerlukan waktu lama dan penuh tantangan
untuk menumbuhkan saling pengertian dibarengi penjelasan banyak hal ke berbagai pihak yang bertanya-tanya. 
     Memang banyak yang melontarkan pertanyaan, mengapa hubungan baik itu perlu dijalin, apakah hal itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, apakah tidak khawatir umatnya akan pindah agama, dan sebagainya. Pertanyaan semacam itulah yang sering dilontarkan kepadanya, baik oleh sesama kyai maupun oleh umat. 
     Bagi Kyai Masrur, munculnya pertanyaan semacam itu wajar saja. Dia menduga, jalan yang ditempuhnya yang dianggap berbeda barangkali terkait dengan latar belakangnya sebagai pengasuh pondok pesantren. Posisi kyai sebagai pemimpin pondok pesantren biasanya diwariskan turun temurun. Sedang Kyai Masrur hanyalah putra seorang Kepala Dusun yang bukan kyai, kebetulan lulusan Fakultas Usuludin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jadi, dengan latar belakang itu mungkin saja menyebabkan gaya kepemimpinannya berbeda.  

Tanpa Stigma
    Terlepas dari itu, dia percaya bahwa dari keyakinan yang dimiliki seseorang semestinya juga tercermin kepedulian terhadap kemanusiaan. Dia juga berpandangan keyakinan tidak boleh dipaksakan. Ibadah itu keyakinan, itu adalah kehendak bebas. 
    Dengan demikian, dalam konteks kedekatan relasi antar-umat beriman, kekhawatiran bahwa umat akan sedemikian mudah pindah keyakinan dianggapnya merupakan khawatiran yang tidak perlu. Umat yang memiliki keyakinan kuat dan benar, tidak mudah terpengaruh. Karena itu, walau harus berjalan sendiri di jalan sunyi itu, Kyai Masrur tidak merasa hal itu perlu dipersoalkan. 
    Maka, pertanyaan salah satu peserta Bulan Pastoral tentang apa yang dilakukan Kyai Masrur untuk membina hubungan baik antar umat yang berbeda keyakinan, secara bercanda dijawab dengan mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang dilakukannya, sebab yang berperan banyak sesungguhnya adalah para santri maupun umat.
     Semua itu dilakukannya karena jauh di dasar hatinya dia ingin melihat hubungan antar-umat beriman dinaungi kedamaian tanpa stigma pada kelompok tertentu. Bagi Kyai Masrur, “ Saya duduk atau saya berjalan harus bisa memberi manfaat kepada umat karena umat yang akan bergerak untuk merealisasikannya. “ 

Hangat dan Cair 
    Relasinya dengan berbagai kalangan dari berbagai agama dan keyakinan berlangsung hangat dan cair. Dia menerima dengan tangan dan hati terbuka siapapun yang berkunjung atau ingin tinggal beberapa waktu di pondok, merasakan irama kehidupan para santri. 
    Para Suster Carolus Borromeus, Suster PPYK, Rm Saji dan umat dari Gereja Maria Asumpta Pakem, Rm Tri dan umat Cangkringan dan Babadan adalah beberapa contohnya. Juga beberapa pendeta dari Gereja Kristen termasuk yang menjadi sahabat dan rekan kerjanya. 
   Kehangatan sikapnya menerima siapapun, yang sesekali diselingi canda, mampu mencairkan suasana. Suatu ketika, usai menandatangani prasasti peresmian paroki Babadan (29 Juni 2011), Mgr. Pujasumarta dengan naluri kebapakannya merengkuh dengan hangat seorang bocah kecil ke dalam gendongannya. Anak itu yang dibawa salah satu angota rombongan dari Al Qodir, yang pada malam hari itu turut memeriahkan pesta peresmian tersebut dengan mementaskan kesenian Hadrah. Melihat hal itu Kyai Masrur sontak melontarkan candaan , “Rama Puja anake saka Al Qodir (Romo Puja anaknya dari Al Qodir).”(PronP/MEtriP)Bersambung)***