Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Mbah Karyo Utomo (2-Habis):
Segelas Plastik Uang Receh

       Bagi Mbah Karyo, seberapapun hasil yang diperoleh dari warungnya selalu dia syukuri sebagai karunia.  Itulah yang membuatnya selalu terdorong untuk memberikan sebagian rejeki yang diperoleh sebagai ungkapan rasa syukur.   Sikap murah hati berbagi rejeki membuat kagum orang yang mengenal Mbah Karyo.  
   Bernadetha Ngadilah, Ketua Tim Paramentha Paroki, mengisahkan betapa Mbah Karyo suatu saat mendatanginya sambil membawa sebuah gelas plastik penuh uang receh. Ketika ditanya untuk apa, Mbah Karyo dengan penuh sukacita mengatakan bahwa itu adalah sebagian rejeki yang diperolehnya
dari Gusti dan meminta bantuan Bu Ngadilah untuk menyampaikannya ke SD Kanisius Babadan yang didengarnya sedang memerlukan bantuan dana. Semangat dan ketulusan Mbah Karyo menyumbang itu, menumbuhkan kekaguman. 

        Kekaguman serupa juga tumbuh dalam diri Agustinus Marsudi, Ketua Lingkungan St. Stephanus Martir. Menurutnya, memang ada beberapa umat lansia yang memiliki sikap seperti Mbah Karyo di lingkungan St. Stephanus Martir. Untuk ukuran orang banyak, mungkin mereka dinilai hidup dengan penghasilan yang pas-pasan.  Namun, itu tidak menghalangi mereka untuk memberikan sebagian rejeki sebagai ungkapan syukur.  
     Di mata Pak Marsudi, Mbah Karyo patut dijadikan contoh.  Mbah Karyo selalu tekun menjalankan usaha warungnya, tidak mengeluh berapa pun hasilnya, tetap ikhlas ketika ada pembeli -  yang notabene adalah tetangga - tak kunjung membayar utang.  Dan seberapa pun yang diperoleh setiap hari, sebagian selalu disisihkan untuk kepentingan gereja.
      Pak Marsudi menuturkan, setiap kali hadir dalam pertemuan lingkungan, Mbah Karyo tidak pernah ketinggalan melaksanakan kewajiban sebagai umat. Entah kewajiban itu berupa kolekte, iuran, atau sumbangan pembangunan.  
      "Saya selalu menyaksikan di pertemuan, Mbah Karyo akan membuka ujung sabuknya yang terbuat dari kain,"  turut Pak Marsudi. Ternyata Mbah Karyo menyimpan uang di ujung sabuknya.   Beberapa keping uang logam atau uang kertas yang menjadi lusuh karena dilipat supaya bisa disimpan diujung sabuk itu, di keluarkan untuk kolekte atau melunasi iuran.
        Mbah Karyo sendiri mengakui hal itu.  Dia mengatakan, kadang ia hanya bisa memberi Rp 500 atau Rp 1.000. “Gusti  maringi  kathah,  kula  ugi paring kathah,  menawi maringi  sekedhik,  kula paring sekedhik (Allah memberi banyak, saya beri banyak. Diberi sedikit, saya beri sedikit),” demikian  ungkapnya polos  dan  pelan. Dia tak   menyisihkan  dari   laba penjualan  warungnya,  tapi mengambilnya sebagian dari  seluruh penghasilan warung hari itu, asalkan itu untuk  Gereja. 
        Semua itu dilakukannya dengan rendah hati.  Dia ingin memberi sebagian rejeki yang diperoleh bukan untuk menyombongkan diri, melainkan sebagai ungkapan syukur.  Kerendahan    hati ini tampak  dari bagaimana cara dia  menjawab  ketika ditanya mengapa di dalam tas kainnya yang berwarna jingga itu, bersama Perjanjian Baru bahasa Jawa dan Kidung Adi, terdapat proposal pembangunan panti paroki. Suaranya tiba-tiba menjadi pelan, setengah berbisik,  agar  orang lain tak  perlu  mendengarnya, seolah-olah kemurahan hatinya tak  ingin ditonjolkannya. Dia katakan, dia ikut menyumbang untuk  pembangunan panti paroki, dia menyanggupi memberi Rp 400 ribu. Sebanyak Rp 300 ribu telah dilunasinya. 
*** 

          Mbah Karyo dibaptis tahun 1944 oleh Rm Harjo  di  Kumetiran dengan nama  Lodewijkus Sakim Karyo  Utomo. Dia menikah dengan Maria  Magdalena Parinten. Mereka  dikaruniai 4 orang anak yang semuanya  kini  bermukim   di Jakarta.   
      Kakek 7 cucu dan 2 buyut ini, selepas  peringatanarwah 40 hari istrinya, rencananya akan diboyong oleh putra bungsunya ke Tangerang. Mbah Karyo merasa gamang harus meninggalkan dusun Demangan.  Dia  tak  yakin  bakal    kerasan hidup di Jakarta. Dia merasa seluruh hidupnya ada di  dusun yang dicintainya itu,  terutama karena dia merasa berat meninggalkan warung yang setiap hari dijaganya. 
       Dan sebelum hari keberangkatannya itu tiba,  dia pamitan kepada Pak Marsudi.  Namun tujuannya mendatangi Ketua Lingkungannya itu bukan hanya untuk pamitan.  Dia menyerahkan sumbangan untuk pembangunan panti paroki, kebanyakan berupa kepingan uang logam lima ratusan atau seribu.    Semuanya berjumlah Rp 100 ribu, sisa dari jumlah yang telah disanggupinya.***