"Saya tiap hari baca Kitab Suci, bahkan ketika di kantor berupaya gunakan beberapa menit untuk baca Kitab Suci. Kalau baca Kitab Suci bersama keluarga belum pernah. Untuk ini saya mohon dukungan doa. Saya belum temukan cara terbaik ajak keluarga tekun membaca Kitab Suci."
Empat kalimat di atas dituliskan di balik lembar survei. Penulisan keempat kalimat tersebut di balik lembar survei sesuai dengan petunjuk yang diberikan untuk salah satu pilihan jawaban berlabel lainnya.
Survei ini merupakan kelanjutan survei bulan September terkait dengan BKSN. Dilatarbelangi hasil surveri tersebut, serta mengacu Dokumen Konsilit Vatikan II tentang Kitab Suci (Dei Verbum) yang menegaskan bahwa dalam Kitab Suci, Bapa yang ada di surga dengan penuh cinta kasih menjumpai putra-putri-Nya dan berwawancara dengan mereka (DV 21). Ketika seluruh anggota keluarga berkumpul dan Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan menyampaikan Sabda-Nya pada seluruh anggota keluarga: tiap anggota sebagai pribadi dan keluarga. Melalui Kitab Suci, Allah menyapa keluarga, menyampaikan kehendak-Nya, dan membimbingnya.
Survei yang dilaksanakan Sabtu (26/10/2013) dan Minggu (27/10/2013) itu memang hendak mengetahui kebiasaan membaca Kitab Suci bersama keluarga dan kesulitan yang dialami memahami makna yang dibaca.
Pada kesempatan Misa Sabtu Sore dan Minggu pagi itu diedarkan 800 lembar survei, kembali 585 lembar. Survei ini merupakan kelanjutan survei bulan September terkait dengan BKSN.
Hasil survei memang menunjukkan belum semua umat memiliki kebiasaan bersama keluarga membaca Kitab Suci, sebagai mana bisa disimak berikut ini:
Pertanyaan pertama:
Rata-rata dalam seminggu, berapa kali Anda bersama keluarga membaca Kitab Suci?
(Jawaban hanya boleh satu pilihan).
Rata-rata dalam seminggu membaca Kitab Suci bersama keluarga (N=585)
Membaca hasil survei
di atas, kita dengan mudah menangkap keprihatinan bahwa 57,4% dari 585 umat
yang mengembalikan isian survei ternyata tidak pernah membaca kitab suci
bersama keluarga, atau hal ini belum menjadi kebiasaan. Angka ini sekitar
335,79 atau dibulatkan menjadi 336 orang umat yang menyatakan hal itu. Tetapi
apakah mereka sungguh belum pernah membaca kitab suci selama ini? Ini persoalan
lain, oleh karena tekanannya adalah pada “kebersamaan”, membaca kitab suci
bersama keluarga. Ada harapan bahwa meskipun umat tidak membacanya secara
bersama dalam keluarga, namun masing-masing anggota masih membacanya secara
pribadi.
Pertanyaan kedua:
Saat membaca Kitab Suci, apa saja kesulitan yang dialami untuk memahami makna yang
dibaca? (Jawaban boleh lebih dari satu).
Dari data di atas, kita menangkap
ada aneka kesulitan dalam memahami makna ayat-ayat kitab suci. Bila
disederhanakan, kesulitan itu ada pada ranah: (1) istilah/bahasa (19,9%); (2)
pemilihan topik bacaan (19,7%); (3) ketidakpahaman konteks yang melatari bacaan
(15,7%), dan (4) pengkaitan dengan kehidupan sehari-hari (13,5%).
Akan halnya kesulitan pertama,
kiranya akan membantu bila ada penulisan pengertian istilah/bahasa yang susah
dimengerti. Tentu ini memerlukan kerja tersendiri dan secara bertahap. Bila
umat dengan tim kerja terkait bisa bekerjasama maka hal ini dapat diupayakan
jalan keluarnya. Misalnya, umat yang kesulitan memahami istilah atau bahasa
tertentu dalam kitab suci, maka ia bisa menuliskannya dan memasukkan kepada
kotak tertentu yang disediakan di gereja untuk kemudian dicarikan pengertian
atau pemaknaannya. Bila sudah ditemukan dan dituliskan maka dapat dumumkan agar
umat yang pernah bertanya mengenai istilah atau bahasa dalam kitab suci yang
sulit dimengerti maka dipersilakan untuk mengambil katerangan tertulis itu di
tempat yang telah disediakan. Ini sekadar contoh. Hal lain dapat ditempuh,
misalnya dengan mengunggahnya di website paroki sehingga kapanpun dapat dibuka
dan dibaca. Atau, dalam pertemuan lingkungan, hal itu pun dapat ditanyakan, sehingga
ada proses pembelajaran kitab suci secara bersama. Ada sejumlah cara yang dapat
dicoba, sesuai dengan peluang dan kemungkinan umat.
Hal sama dapat dilakukan dengan kesulitan
(2), (3), dan (4). Di antara ketiga kesulitan ini, kesulitan (2) dan (4) sebenarnya
agak cenderung personal, oleh karena pemilihan topik bacaan dan pengkaitan
dengan kehidupan sehari-hari akan jauh bermakna bila dilakukan sesuai dengan
kebutuhan situasional umat. Meskipun demikian, mengenai pemilihan topik bacaan,
gereja telah memiliki panduan bacaan harian yang kiranya dapat diikuti.
Buku-buku rohani tertentu juga menyediakan hal ini. Ada pula kemungkinan dengan
membaca kitab suci secara berurutan dari awal sampai akhir sepanjang tahun,
sehingga topik mengikuti sajian dalam urutan bacaan dalam kitab suci. Sementara
itu untuk kesulitan (4), yaitu pengkaitan dengan kehidupan sehari-hari, hal ini
dapat dilakukan dalam sharing atau berbagi pengalaman. Sekecil dan sesederhana
apapun pengalaman dalam kehidupan kiranya sangat terbuka kemungkinan untuk
direfleksikan, dimaknai dan dipertautkan dengan teks kitab suci. Memang tidak
setiap pengalaman selalu dapat dipertautkan dengan teks yang kita baca pada
suatu waktu tertentu yang telah ditentukan topiknya. Tetapi kalau kita
membaliknya, dari pengalaman lalu kita cari bacaan yang relevan, maka kita
dapat mencarinya di kitab suci. Dengan kata lain, cara ini secara “induktif”,
dari pengalaman sehari-hari ke pilihan teks. Ini juga merupakan salah satu
tawaran dalam mengatasi kesulitan pemilihan topic bacaan (kesulitan nomor 2 di
atas).
Kesulitan (3), yaitu
ketidakpahaman konteks yang melatari bacaan (15,7%), memang agak spesifik. Ini
kiranya memerlukan bantuan mereka yang mengetahui latar historis dan/atau
pemahaman mendalam akan kitab suci. Oleh karena, pemahaman akan konteks bacaan
mengandaikan kita untuk membayangkan dan kemudian mencoba memahami peristiwa
pada abad 1 Masehi dan tahun-tahun ketika para rasul melakukan perjalanan ke
berbagai kota (Kisah Para Rasul). Media belajar bersama dalam bulan kitab suci
atau kelompok pendalaman kitab suci di paroki kiranya dapat menjadi media
bersama untuk kebutuhan ini. Bagi mereka yang suka membaca, kunjungan ke toko
buku Penerbit Kanisius bisa menjadi alternatif untuk menemukan bacaan yang
diperlukan. Bila tidak, internet (youtube, google atau yahoo, misalnya) pun
dapat menjadi sumber informasi dengan memasukkan “kata kunci” lalu kita
perintahkan untuk mencarinya.
Berbeda dari hal di atas, 11,8%
responden menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kasulitan dalam memahami
kitab suci. Sekitar 64 orang ini menjadi kalangan yang sudah lancar dalam
“berdialog” dengan kitab suci. Tahapan ini tentu akan dapat dicapai juga oleh
mereka yang masih mengalami hambatan seperti di atas bilamana upaya membaca,
memahami dan bereksplorasi diri terus dilakukan.
Kelompok yang agak susah
ditafsirkan adalah 54,6% responden yang menyatakan bahwa “bacaan tertentu agak
sulit dipahami”. Penafsiran susah
dilakukan karena ini menyangkut “bacaan
tertentu”. Ini bacaan seperti apa? Namun demikian, kalangan ini dapat
ditafsirkan sebaliknya, bahwa mereka lancar dalam memahami kitab suci, kecuali
“bacaan tertentu”. Secara umum, kata “tertentu”
mengindikasikan bahwa jumlah bacaan semacam ini tidaklah banyak, bukan secara umum, sehingga jawaban ini akan persis berkebalikan
dengan “bacaan secara umum agak
sulit dipahami”. Maka, responden dalam kategori ini (54.6% atau sekitar 296
orang) sebenarnya cukup mampu membaca dan memahami kitab suci, hanya saja
mereka kadang bertemu dengan “bacaan tertentu yang agak sulit dipahami”.
Sebagaimana di atas, media kelompok pendalaman kitab suci, pertemuan
lingkungan, atau dialog interpersonal, atau internet dan buku bacaan, kiranya
dapat menjadi “jalan” untuk “keluar” dari kesulitan ini.
Secara umum cukup menggembirakan
bahwa hanya 1,5% atau 8 orang yang menyatakan bahwa isi kitab suci tidak
menarik. Ini berarti di luar 6,1% yang tidak menjawab dan 1,5% yang menyatakan
isi kitab suci tidak menarik (atau sekitar 7,6%), dapat ditafsirkan masih
menilai isi kitab suci menarik bagi mereka. Dengan demikian, ada peluang besar
bagi kitab suci untuk dibaca umat, dengan aneka ragam latar-belakang dan
kesibukan mereka.
Potret jawaban di atas adalah
bersifat umum, yang di dalamnya ada beberapa jawaban lain yang cukup menarik,
seperti di bawah ini:
- Isi Kitab Suci diseleksi oleh manusia (Roma) bukan Allah.
- Membaca tiap hari tanpa menafsirkan. Biar Roh Kudus yang bicara. Bapak mengirim teks bacaan harian.
- Dari sabda-Nya banyak relevansinya dengan kejadian sehari-hari atau dari tahun ke tahun. Kalau kita merenung timbul rasa takut, malu, galau, kadang suka meneteskan air mata, mengingat dosa dan kelakuan kita, apalagi kalau membaca doa tobat.
- Saya tiap hari baca Kitab Suci, bahkan ketika di kantor berupaya gunakan beberapa menit untuk baca Kitab Suci. Kalau baca Kitab Suci bersama keluarga belum pernah. Untuk ini saya mohon dukungan doa. Saya belum temukan cara terbaik ajak keluarga tekun membaca kitab suci.
- Membaca dan merenungkan firman Tuhan sendiri dan juga bersama kelompok doa, tidak bersama keluarga.
- Semoga dengan adanya survei ini kami disadarkan untuk baca Kitab Suci. Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Membaca
keenam jawaban ini, kita melihat bahwa kehidupan rohani umat,
sekurang-kurangnya yang menulis jawaban ini, cukup bagus. Mereka memiliki
kekritisan bahwa “isi kitab suci diseleksi oleh manusia (Roma), bukan Allah”,
di samping memiliki ketekunan pribadi dalam “menafsirkan, dan berharap Roh
Kudus berbicara”, “merenungkan secara mendalam dan berpenghayatan”, “setiap
hari membaca kitab suci”, “membaca dan merenungkan firman Tuhan sendiri dan
berkelompok”, serta ada pula yang “tersadar oleh survei ini untuk membaca kitab
suci”. Kesemuanya ibarat” tanah subur” yang bersedia untuk “ditanami firman
Tuhan” melalui kitab suci. Mereka juga memiliki upaya untuk membaca,
merenungkan, mencari jalan anggota keluarga untuk membaca bersama, dan
sebagainya. Oleh karena itu optimisme masih memiliki ruang dalam upaya
pembiasaan membaca kitan suci baik personal maupun bersama dalam keluarga.
***