Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Elisabet Kristimuryani (2-habis):
Menolong Sesama Tak Perlu Pikir Panjang

Dibanding di Jakarta, biaya hidup  di Sambiroto, Sleman, memang lebih rendah. Namun bukan berarti kehidupan di tempat tinggal baru ini serta-merta menjadi lebih mudah. Apalagi dengan lima putri yang sedang beranjak remaja, saat yang memerlukan banyak kebutuhan. Sedang pekerjaan juga tidak mudah didapat. 
      Karena itu, ketika ada pekerjaan mengambil sampah dari rumah ke rumah, Bu Yanto tidak melarang suaminya melaksanakan pekerjaan itu. Bahkan ketika akhirnya dia sendiri harus ikut menemai Pak Yanto berkeliling dengan pick-up Kijang tua hijau mengambil sampah, dia tidak merasa kurang terhormat
karena harus melakukan pekerjaan itu. Dia tidak memilih-milih pekerjaan, dan tidak suka berpangku tangan. Dia yakin, sesulit apa pun keadaan yang dihadapi, Tuhan selalu menolong. 
     Dari pekerjaan mengambil sampah dari rumah ke rumah dan kemudian mengantarkannya ke TPA, mereka mendapatkan sekitar 1,5 juta setiap bulan. Setelah dikurangi untuk membayar orang yang membantu menurunkan sampah, membeli bensin 50 ribu setiap 2 hari, maka mereka mendapatkan sekitar 750 ribu setiap bulan. Pendapatan itu akan bertambah jika ada yang meminta tolong pak Yanto untuk menebang pohon atau memangkas daun-daun, atau pekerjaan serabutan lainnya. 
      Dari segi jumlah, pendapat itu tidak terbilang besar.  Namun ada hal yang menenteramkannya. Rumah yang ditinggali sudah milik sendiri. Di rumah itulah keluarga Bu Yanto memulai lembaran hidup baru hingga sekarang. Kini dua putrinya sudah berkeluarga, 3 putri lainnya bekerja. Ada yang di butik, satu bekerja di Mirota Kampus jalan Kaliurang, dan satu lainnya di SMK Pius Magelang. 

‘Mrajakke’
      Bu Yanto lahir pada 26 Desember 1958 dari keluarga pemeluk Kristen Protestan. Pada 1 Maret 1980 menikah dengan pak Yanto di catatan sipil. 
     Tergerak ingin membangun keluarga dengan dasar iman dan tujuan hidup yang sama, maka pada tahun 1983 dia dibaptis di Gereja St. Maria Palembang oleh Romo Joyo, setelah selama setahun belajar menjadi katolik dengan bimbingan Romo Titus. 
      Keinginannya untuk meneguhkan perkawinannya dalam sakramen kudus perkawinan terwujud pada 27 Desember 1985. Tahun 1986, keluarga Bu Yanto pindah dari Palembang ke Klaten, tempat asal Pak Yanto. Setahun kemudian, keluarga ini mengadu nasib ke Jakarta. 
      Sosoknya mungil, tatapan matanya tajam. Rambut sebahu, bahkan kuku tangan dan kakinya dicat merah menyala. Dari balik sosok bu Yanto seperti itu, yang tampak adalah pribadi pekerja keras yang tegar. Namun, dia dengan riang menyapa siapa saja yang dijumpainya. 
      “Dia itu ‘mrajakke’ (merajakan – pen) tamu,” ujar Bu Rini, salah satu umat Lingk St. Robertus. Menurutnya, Bu Yanto jika ketempatan pertemuan lingkungan akan dengan sukacita menjamu umat meskipun dengan hidangan sederhana, seperti nasi pecel dengan lauk tempe tahu goreng. “Saya merasa diperlakukan seperti raja, karena biasanya orang menjamu cukup dengan segelas teh dan sepotong kudapan. Tapi kalau bu Yanto mau berlelah-lelah memasak untuk menyenangkan tamunya.” 
      Ketulusan membantu orang lain, keinginan untuk menyenangkan orang lain, keikhlasan memberi, menurut Bu Rini, adalah sikap yang patut ditiru. Terlebih kalau dari segi penghasilan, keluarga Bu Yanto sebentulnya hanya hidup pas-pasan. Dengan penghasilan pas-pasan, Bu Yanto tidak pernah khawatir. Dia yakin Tuhan akan selalu menolongnya. 
      Dan karena itu pula, dia juga tidak ragu memberikan sebagian penghasilan keluarganya diberikan sebagi donasi bagi pembangunan panti paroki, dalam jumlah yang membuat heran orang lain. Menurut pengakuan Bu Rini, dia kaget ketika mengetahui Bu Yanto memberi donasi untuk pembangunan panti paroki sebesar Rp 50 ribu. 
     “Saya malu, bagaimana orang yang bekerja demikian keras dan pendapatannya kecil tapi rela menyumbang begitu besar, sementara yang lain yang lebih mampu hanya memberi di bawah 50 ribu? Sejak itu saya bertekad kalau memberi sumbangan selayaknya di atas atau minimal sama dengan jumlah yang diberikan oleh bu Yanto.” Bu Yanto mengaku, memang dia menyumbang 50 ribu setiap bulan untuk pembangunan panti paroki. 

Tulus Memberi 
      Tak hanya itu. Bu Yanto tidak berpikir panjang menolong mereka yang sedang kesusahan. Ketika ada orang memerlukan bantuan sementara di tangannya hanya ada uang untuk makan hari itu, dia akan ikhlas memberikannya. 
      Dia tak berpikir panjang apakah hari itu dia dan keluarganya bisa makan jika uang yang ada itu diberikannya pada orang lain. Dia berpikir pasti ada rezeki yang diberikan Tuhan lewat pekerjaan yang dilakukannya atau lewat pemberian orang lain. Dan rezeki itu datang begitu saja bagaikan mujizat-mujizat kecil, yang sering dirasakannya sebagai pertolongan Tuhan lewat orang yang memberinya beras, dan lain-lain. 
      “Hati saya sangat terharu bila ada orang yang membutuhkan bantuan saya,” kata Bu Yanto. Dia selalu mengingat, saat mengalami kesusahan, selalu banyak orang yang membantunya. Itulah cara Tuhan, menolongnya lewat orang lain. 
      Maka, saat ada orang lain datang meminta bantuannya, dia yakin itu pula cara Tuhan memintanya untuk menolong sesama. Menolong sesama tak perlu pikir panjang.  “Kalau Tuhan sudah memberi pertolongan, hendaknya kita juga mudah memberikan pertolongan pada sesama. Jadilah saksi Kristus,” katanya. (PRonP/MEttyTRiP)***