Selamat Datang! Terima kasih telah berkunjung. Berkah Dalem.

Christiana Ena Sri Maryani (2):
Melayani Sesama Tak Harus Berjubah

Pengantar:
     Karena hal teknis, lanjutan kisah  Christiana Ena Sri Maryani, baru bisa dimuat sekarang. Bagian pertama sudah dimuat Desember 2014. Klik di sini. Maaf atas keterlambatan tersebut. Semoga menjadi inspirasi.

Setelah menikah dengan Heribertus Sukamto, biasa dipanggil Pak  Kamto, dan dikaruniai seorang putri, Bernadeta Dian Saraswati 25 tahun, hari-harinya  terasa sepi. Tak ada kesibukan selain sebagai  ibu rumah tangga. Apalagi  kemudian putrinya bekerja di Solo, makin  genaplah kesendiriannya begitu suaminya  pamit berangkat ke kantor dan baru pulang menjelang magrib.

Kehidupan keseharian seperti itu membersitkan keinginannya menjadi prodiakon.  Dengan melayani  sesama sebagai prodiakon,  barangkali cara itu akan memenuhi harapan ibunya yang mendambakan hidup anak-anaknya benar.

Bencana Merapi mengubah pandangan Bu Kamto tentang bagaimana  melayani sesama. Melihat sesama menderita terkena musibah, tergerak hatinya untuk  menolong.  Semula, ia bergabung membantu di barak pengungsi di SD Glagahharjo, yang didirikan setelah Merapi meletus 26 Oktober 2010.  

Begitu urusan rumah tangga sudah dibereskannya, ia segera berangkat bersama ibu umat segereja, ke Glagahharjo. Di sana ia bersama para relawan sibuk mempersiapkan keperluan para pengungsi. Sekitar pkl. 15.00, ia pulang ke rumah.  

Namun peran menjadi relawan itu hanya berlangsung sekitar seminggu.  Jumat dini hari, 5 November 2010, Merapi erupsi lagi.  Kali ini letusannya  lebih kuat dan lebih ganas dibanding letusan pertama.  Zona bahanya diperluas hingga ke radius 20 km dari puncak Merapi. Tidak ada yang boleh tinggal di wilayah dalam radius 20 km  itu. Semua diharuskan mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Bu Kamto dan keluarga mengungsi sebagaimana penduduk lain.  Tempat yang dituju adalah Gereja Marganingsih Kalasan.  Dalam kepanikan, tak ada yang sempat dibawa.  Mereka pasrah saja dan berharap, di Gereja Kalasan akan ada umat seiman yang bersedia menolong.  “Sebelum letusan kedua, tangan saya ikut terulur memberi bantuan. Setelah letusan  kedua, tangan saya menengadah meminta bantuan, “ katanya seraya tertawa. 

Malam pertama saat mengungsi ke Kalasan,  ia menyaksikan dan mengalami sendiri betapa keadaan serba darurat di pengungsian. Makanan memang tersedia atas upaya Paroki Kalasan maupun masyarakat sekitar.  Namun kebutuhan seperti selimut, peralatan mandi, tikar untuk alas tidur, termasuk kebutuhan anak-anak dan balita, belum ada.  Maklum, para pengungsi tiba-tiba saja datang. Sama sekali tidak ada persiapan sebelumnya untuk menampung pengungsi, apalagi menyiapkan kebutuhan mereka.

Kondisi yang memprihatikankan itu membuatnya teringat   paket bantuan  yang  masih menumpuk di rumahnya yang dititipkan para donatur. Sebelum erupsi 4 November 2010,  sejumlah paket bantuan memang dititipkan di rumahnya dengan alasan keluarga Bu Kamto lebih tahu ke mana bantuan itu lebih tepat diberikan. Paket bantuan itu sedianya akan dikirimkan ke posko pengungsi di Glagahharjo, untuk disalurkan kepada para pengungsi. 

Pagi hari, ia mengajak beberapa orang sesama pengungsi untuk mengambil paket bantuan tersebut.  Beberapa orang yang dimintanya pertama kali untuk mengambil paket bantuan ke rumahnya, menolak. Tidak ada yang berani.  Ia mencari orang lain.  Akhirnya ada yang bersedia. Setelah itu, mereka berangkat dengan dua mobil.

Posko Transit
Minggu ketiga setelah erupsi 4 November 2010,  para pengungsi mulai diijinkan pulang.  Bu Kamto bersama  keluarga juga pulang ke rumahnya.    

Namun, sebelum pulang, Rm. L Tata Priatna, Pr – pastur  paroki Gereja Kalasan – berpesan supaya siap mengkoordinir penyaluran bantuan begitu tiba di rumah.  Mula-mula Bu Kamto menolak, sambil mengatakan sebaiknya orang lain saja yang diminta melaksanakan tugas itu.  Banyak yang lebih mampu dibanding dirinya.
Penolakan itu ditanggapi Rm Tata dengan mengatakan, hanya Bu Kamto yang dikenal. Jika Bu Kamto tidak bersedia, maka bantuan yang pasti masih akan berdatangan, lebih baik ditolak.  

Bu Kamto tidak bisa menolak lagi.  Ia sadar, menolak berarti  akan banyak donatur yang kecewa karena bantuan yang akan diberikan tak bisa jadi sampai kepada yang membutuhkan.  Padahal ia tahu, letusan kedua yang lebih dahsyat mengakibatkan jauh lebih banyak penduduk yang kehilangan rumah,  kehilangan sawah atau kebun, kehilangan mata pencaharian.  Mereka sangat membutuhkan bantuan.    

Jadilah rumahnya menjadi posko transit berbagai jenis bantuan, sebelum disalurkan kepada para penyintas Merapi.  Sontak rumahnya penuh dijejali banyak  barang kebutuhan hidup para pengungsi dari berbagai pihak.  Itu buah dari konsekuensi setiap kali ada yang bertanya kepada para romo Paroki Kalasan, atau kepada para romo di Seminari Tinggi OMI, kepada siapakah sebaiknya bantuan dititipkan untuk disalurkan, namanyalah yang disebut.

Segera dimintanya pemuda setempat untuk mengelola bantuan itu. Ada sembilan orang yang bersedia menjadi relawan.  Mereka bekerja setiap hari di rumahnya.  Setiap bantuan yang diterima dicatat, dipilah menurut jenis, lalu dikemas menjadi satu paket bantuan sebelum disalurkan.

Satu Bendera
Namun ia menyadari keterbatasan kemampuan dan pengetahuan untuk mengelola dan medistribusikan bantuan.  Karena itu, dalam pertemuan para relawan di aula Gereja St. Petrus & Paulus Babadan,  ia melaporkan apa yang dilakukannya, sekaligus mengatakan bahwa bantuan yang dikelolanya sebaiknya diposisikan sebagai bantuan yang dikelola Posko Belarasa. 

Tujuannya, agar bantuan disalurkan di bawah bendera Posko Belarasa Babadan.  Toh ia diminta menyalurkan bantuan itu adalah karena keberadaannya sebagai umat Katolik Gereja Cangkringan, yang notabene berinduk ke Paroki St. Petrus & Paulus Babadan. Apabila bantuan dikelola di bawah satu bendera, pengelolaan maupun pendistribusian akan lebih mudah,  sebab pendampingan dari Posko Belarasa bisa diharapkan.  

Permintaan itu dipenuhi. Memang sempat dibahas, jika memang ada maksud seperti itu, apakah tidak sebaiknya kepada para donator diminta untuk mengirimkan saja bantuan mereka ke Posko Belarasa Babadan. Ada pula yang mengatakan, jika Bu Kamto merasa kerepotan mengelola bantuan, barangkali sebaiknya diserahkan kepada orang lain.

Bu Kamto diam saja, tidak menanggapi.  Ia berpikir, apa pun yang diputuskan tidak soal, asalkan bantuan para donatur terkelola dengan baik, dan sampai kepada para penyintas Merapi yang sangat membutuhkan. 
Karena ia diam saja, Bu Poniyam, kepala SD Glagaharjo yang sebelumnya mengelola Posko Pengungsi di kompleks SD itu sebelum letusan 5 November 2010 (Baca Kisah 1 atau lanjutannya Kisah 2), angkat bicara:  “Sebaiknya posko transit tetap di rumah Bu Kamto, dan Bu Kamto pengelolanya. Kalau bukan, lebih baik tidak sama sekali .”

Sejak itulah hari-harinya disibukkan dengan  relawan mengelola bantuan yang berdatangan. Ia mendampingi para relawan itu mengemas  barang bantuan berdasar kebutuhan kebutuhan pengungsi di tiap dusun, dan menyalurkan bantuan tersebut secara tepat kepada yang membutuhkan.

Selain itu, ia juga  mendatangi tiap  dusun terdampak   Merapi.  Ia mengamati sediri kondisi para penyintas Merapi di setiap dusun, sehingga tahu bantuan apa yang mereka perlukan. Bekerja sama dengan kepala dusun dan para tokoh warga setempat, ia merekrut salah satu warga menjadi koordinator lapangan yang siap menyalurkan  barang yang dikirimkannya. Setiap penerimaan uang dan penyerahan barang bantuan akan dicatat  dan difoto sebagai laporan kepada Rm. Robertus   Triwidodo, Pr – pastur paroki Babadan dan sekaligus penanggung jawab Posko Belarasa.  Laporan serupa juga diberikan kepada para donatur maupun para romo yang menghubungkannya dengan para donatur tersebut.

Tak Harus Berjubah
Sama sekali Bu Kamto tidak menyangka, perannya sebagai pengelola bantuan akan berlangsung lama, sekitar dua tahun lebih.  Perannya juga tidak lagi sebatas menerima dan mencatat jumlah serta jenis bantuan yang berdatangan, lalu mengemas dan menyalurkannya. 

Setelah masa tanggap darurat selesai, ia tetap diminta untuk berperan dalam kegiatan rekonstruksi di lereng Merapi.  Konsekuensinya, ia harus menghadiri rapat-rapat bersama pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan hunian sementara, pembangunan hunian tetap, penyaluran bantuan, membahas pelatihan pemberdayaan, dan sebagainya.“Berat saya sampai susut,” katanya sambil tertawa.

Meski beratnya susut, ada satu hal yang membuatnya tak habis pikir.  Tahun kedua setelah letusan Merapi, ia hamil. Bagaimana mungkin, saat usianya menjelang 44 tahun, ia hamil lagi?  Begitu jauh jarak kehamilan ini dari saat ia mengandung anak sulungnya, Dian, yang kini sudah berusia 25 tahun.  Kemudian, anak bungsunya laki-laki, Rafael,  kini berusia 3 tahun, lahir.

Sebagaimana Bu Kamto  selalu bersyukur atas segala karunia yang dilimpahkan oleh-Nya kepadanya, ia bersyukur atas anugerah-Nya ini.  Ia berpikir, mungkin inilah perwujudan kasih Tuhan atas apa yang dilakukannya melayani sesama yang terdampak oleh erupsi Merapi.

Menilik ke belakang perjalanan hidupnya, sejak muncul di benaknya pertanyaan seperti apa hidup benar yang didambakan ibunya, pengalaman selama dua tahun lebih melayani para penyintas Merapi menjawab pertanyaan itu.  Perannya memang tak berarti, hanya mengelola dan mendistribusikan bantuan yang diberikan para donatur kepada yang memerlukan. Namun dengan peran kecil itu, ia bahagia ketika berkat upaya terbaik yang bisa dilakukannya, banyak orang menyapanya dengan penuh keakraban dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Saat seperti itu, Bu Kamto mengingat pesan Rm Robertus Triwidodo Pr, bahwa membantu sesama tak perlu berjubah atau memakai atribut tertentu. Yang penting,  kaki bergerak dan tangan terulur, siap menolong. Dengan demikian kehadiran seseorang akan mempunyai makna bagi yang lain. Erupsi Merapi telah memberi pelajaran berharga kepada Bu Kamto tentang arti melayani sesama. (MEttyTriP/PronP)***